BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia
sebagai negara yang sedang membangun, ingin mencoba untuk dapat membangun
bangsa dan negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan dari negara lain.
Tentu ini pernah dicoba. Namun ternyata Indonesia sulit untuk terus bertahan
ditengah derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat tanpa mau
menghiraukan bangsa yang lain yang masih membangun. Dalam kondisi seperti ini,
Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut, mencoba untuk membuka diri
dengan berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi menunjang pembangunan
bangsanya terutama dari sendi ekonomi nasionalnya. Menurut Boediono (1999:22),
pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat pertambahan dari pendapatan nasional.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai proses kenaikan output
per kapita dalam jangka panjang dan merupakan ukuran keberhasilan pembangunan.
Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup
menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989
terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian
6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan
1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%,
kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat
pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka
inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan
kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus
meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun,
pada satu titik tertentu, perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan
krisis ekonomi yang melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan
tingginya angka inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka
pengangguran seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan
semakin membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang
semakin melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US
Dollar. Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya
dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat
diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif,
jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya (Anggito Abimanyu. 2000:8).
Meningkatnya
pertumbuhan investasi di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang
No.1 / tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan Undang-Undang No.6 /
tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Dengan diberlakukannya
Undang-undang tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi di
Indonesia dari waktu ke waktu yang kemudian menciptakan iklim investasi yang
kondusif selama proses pembangunan di Indonesia.
Arus masuk
modal asing (capital inflows) juga berperan dalam menutup gap devisa yang
ditimbulkan oleh defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal
asing juga mampu menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal
(saving investment gap) bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Modal asing ini
selain sebagai perpindahan modal juga dapat memberikan kontribusi positif
melalui aliran industrialisasi dan modernisasi. Akan tetapi apabila modal asing
tersebut tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif yang besar
terutama apabila terjadinya capital flows reversal (Zulkarnaen Djamin, 1996:
26).
Seperti yang
telah dijelaskan di atas bahwa utang luar negeri turut mendukung terjadinya
krisis ekonomi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada dasarnya, dalam
proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti di
Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar.
Hal tersebut disebabkan tabungan dalam negeri yang rendah tidak memungkinkan
dilakukannya investasi yang memadai sehingga banyak pemerintah negara yang
sedang berkembang harus menarik dana dan pinjaman dari luar negeri. Selain itu,
defisit pada neraca perdagangan barang dan jasa yang tinggi berhubungan juga
dengan dilakukannya impor modal untuk menambah sumber daya keuangan dalam
negeri yang terbatas. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya
aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan
pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh
pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat
mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945,
sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan
pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki
(tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana
untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi. Pada pertengahan
dekade 1980-an, modal asing yang masuk ke Indonesia masih didominasi oleh
investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri
(terutama pinjaman pemerintah). Baru setelah pemerintah melakukan deregulasi di
sektor keuangan/perbankan yang dimulai sejak awal 1980-an, yang antara lain
membuat sektor tersebut, termasuk pasar modal, berkembang dengan pesat, arus
modal swasta jangka pendek dari luar negeri mulai mengalir ke dalam negeri.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pinjaman
luar negeri?
2. Apa saja bentuk – bentuk pinjaman
luar negeri ?
3. Lembaga apa saja yang menjadi
kreditor terbesar bagi Indonesia ?
4. Bagaimana dampak pinjaman luar
negeri Indonesia ?
5. Faktor apa saja yang menyebabkan
hutang luar negeri Indonesia ?
6. Bagaimana startegi pengelolaan
hutang luar negeri Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pinjaman luar negeri di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui bentuk pinjaman luar negeri.
3. Untuk
mengetahui lembaga yang menjadi kreditor terbesar bagi Indonesia.
4. Untuk
mengetahui dampak pinjaman luar negeri.
5. Untuk
mengetahui faktor yang menyebabkan hutang luar negeri Indonesia.
6. Untuk
mengetahui strategi pengelolaan hutang luar negeri.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Pinjaman Luar
Negeri
Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia
ketiga, atau negara yang sedang berkembang, merupakan negara miskin, dalam arti
tidak memiliki sumberdaya ekonomi. Banyak negara dunia ketiga yang justru
memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Masalahnya adalah
kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih bersifat potensial, artinya belum
diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumberdaya manusianya yang
besar, belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan keterampilan,
untuk mampu menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan berproduksi tinggi.
Pada kondisi yang seperti itu, maka sangatlah dibutuhkan adanya sumber daya modal yang dapat digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar
pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan
berkelanjutan. Dengan adanya sumber daya modal, maka semua
petensi kelimpahan sumber daya alam dan sumber daya manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan dan dikembangkan.
Tetapi, pada banyaknya negara yang sedang berkembang, ketersediaan sumber daya modal seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala
tersebut disebabkan karena rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam
negeri, beberapa penyebabnya antara lain (1) pendapatan per kapita penduduk
yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal propensity to
save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya
penghasilan, juga rendah. (2) Lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan
dana masyarakat, yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara
produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif. (3)
Kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar yang
rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesuliatan mendapatkan tambahan dana
murah dalam berekspansi. Dengan kondisi sumber daya modal domestik yang sangat terbatas seperti itu, jelas tidak dapat
diandalkan untuk mampu mendukung tingkat pertumbuhan output nasional yang
tinggi seperti yang diharapkan.
Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya
mobilisasi modal domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri,
yang umumnya dalam bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official
development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti
bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMAP); portofolio
invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit
perdagangan (ekspor/impor) modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak
swasta.
Banyak pemerintah di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan
modal asing dalam menunjang pembangunan nasionalnya, tetapi tidak semua
berhasil mendapatkannya, kalau pun berhasil jumlah yang didapat akan bervariasi
tergantung pada beberapa faktor antara lain:[1]
1.
Ketersediaan dana dari
negara kreditur yang umumnya adalah negara-negara industri maju.
2.
Daya serap negara
penerima (debitur). Artinya debitur akan mendapat bantuan modal asing sebanyak
yang dapat diguankan untuk membiayai investasi yang bermanfaat. Daya serap
mencakup kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyel-proyek
pembangunan, mengubah struktur perekonomian, dan mengaplikasikan kembali resources.
Struktur perekonomian yang simultan dengan pendayagunaan kapasitas nasional
yang akan menjadi landasan penting bagi daya serap suatu negara.
3.
Ketersediaan sumber
daya alam dan sumber daya manusia si negara penerima, karena
tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumber daya tersebut dapat menghambat pemanfaatan modal asing secara efektif.
4.
Kemampuan negara
penerima bantuan untuk membayar kembali (re-payment).
5.
Kemampuan dan usaha
negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri tidak
dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk
memanfaatkan dengan benar oleh negara dibuat di dalam negeri. Sehingga peranan
modal asing sebenarnya adalah sebagai sarana efektif untuk memobilisasi
keinginan suatu negara.
Hutang luar negeri diartikan
sebagai penerimaan negara dalam bentuk devisa ataupun dalam bentuk devisa yang
dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang diterima dari Pemberi
Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PPHLN) yang harus dibayar kembali dengan persyaratan
tetentu atau hutang luar negeri adalah sumber pembiayaan negara yang
berasal dari negara asing, badan/lembaga keuangan internasional atau dari pasar
uang internasional yang berbentuk devisa, barang, dan atau jasa termasuk
penjaminan yang mengakibatkan pembayaran di masa yang akan datang yang harus
dibayar kembali sesuai kesepakatan bersama[2].Sekarang ini dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia, termasuk
dalam bidang finansial, menyebabkan arus modal asing semakin leluasa keluar
masuk suatu negara. Pada banyak negara yang sedang berkembang, modal asing
seolah-olah telah menjadi salah satu modal pembangunan yang diandalkan. Bahkan,
beberapa negara saling berlomba untuk dapat menarik modal asing
sebanyak-banyaknya dengan cara menyediakan berbagai fasilitas yang
menguntungkan bagi para investor dan kreditur.
2.2 Bentuk – Bentuk Pinjaman Luar Negeri
Bentuk pinjaman luar negeri dapat
dilihat dari dua aspek, antara lain :
1) Sumber Dananya
Bila dilihat dari suber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi :
a) Pinjaman Multilateral
Yaitu pinjaman yang berasaal dari badan-badan internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).
b) Pinjaman Bilateral
Yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang tergabung dalam CGI maupun antar negara secara langsung (intergovernment).
c) Pinjaman Sindikasi
Yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman tersebut dikoordinir oleh satu bank/LKBB yang bertindak sebagai sindication leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan bersifat komersial (commercial loan), misalnya dengan tingkat suku bunga yang mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.
1) Sumber Dananya
Bila dilihat dari suber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi :
a) Pinjaman Multilateral
Yaitu pinjaman yang berasaal dari badan-badan internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).
b) Pinjaman Bilateral
Yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang tergabung dalam CGI maupun antar negara secara langsung (intergovernment).
c) Pinjaman Sindikasi
Yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman tersebut dikoordinir oleh satu bank/LKBB yang bertindak sebagai sindication leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan bersifat komersial (commercial loan), misalnya dengan tingkat suku bunga yang mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.
2) Segi Persyaratannya,
Bila dilihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi :
a) Pinjaman Lunak (Concessional Loan)
Yaitu pinjaman luar negeri Pemerintah dalam rangka pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Pinjaman lunak biasanya diperoleh dari negara-negara yang tergabung dalam kerangka CGI maupun non CGI. Pengertian dengan dana sendiri atau dana pendampingan oleh Pemerintah RI. Fasilitas Kredit Ekspor dapat dalam bentuk Suppliers Credit atau Buyers Credit.
·
Buyers
Credit adalah pinjaman FKE yang diterima dari bank komersial atau lembaga
keuangan bukan bank luar negeri, dimana tujuan pinjaman tersebut adalah untuk
pembelian barang dari negara pemberi pinjaman.
·
Suppliers Credit adalah adalah pinjaman FKE
yang diterima Pemerintah langsung dari pemasok barang (supplier) di luar negeri
kepada Pemerintah RI yang akan diberikan dalam bentuk barang untuk keperluan
proyek. Dapat diartikan bahwa dalam suppliers credit ini, pihak yang menerima
pinjaman adalah pihak pemasok barang.
b) Purchase Installment Sale Agreement (PISA)
Yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek.
c) Pinjaman Komersial (Commercial Loan)
Yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional. Pinjaman ini lazim pula disebut cash loan karena pinjaman diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar karena pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional.
Beberapa pertimbangan bagi Pemerintah dalam menerima pinjaman komersial adalah:
b) Purchase Installment Sale Agreement (PISA)
Yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek.
c) Pinjaman Komersial (Commercial Loan)
Yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional. Pinjaman ini lazim pula disebut cash loan karena pinjaman diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar karena pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional.
Beberapa pertimbangan bagi Pemerintah dalam menerima pinjaman komersial adalah:
·
Mendukung penganekaregaman (diversifikasi)
pinjaman atau memperluas sumber pinjaman yaitu memperoleh pinjaman dari
perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.
·
Jumlah
pinjaman relatif lebih besar dan tatacara penarikannya lebih mudah.
·
Penggunaan
dana tidak terikat pada satu proyek tertentu namun lebih flesibel, baik untuk
diinvestasikan kembali, untuk membiayai proyek atau untuk memperkuat cadangan
devisa.[3]
2.3 Lembaga yang menjadi Kreditor bagi
Indonesia.
1. IDB ( Islamic Development Bank )
Berbicara mengenai lahirnya IDB maka tidak dapat dilepaskan dari
organisasi induknya yaitu Organisasi Konferensi Islam. Kemunculan OKI memang
dilatarbelakangi oleh konflik Timur Tengah yaitu masalah Israel Palestina namun
belakangan keberadaan OKI tidak lagi sekedar dikaitkan dengan upaya pembebasan
rakyat Palestina dari cengkeraman Israel. Lebih dari itu, kiprah OKI dengan
segenap kelembagaan dan potensi yang dimilikinya termasuk IDB telah dapat
memainkan peran yang lebih luas, yakni mencakup berbagai persoalan yang
dihadapi dunia Islam dibidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan,
dan sebagainya. Dalam konteks ekonomi, IDB merupakan representasi aktifitas
ekonomi negara-negara muslim yang notabene anggota OKI.
Islamic Development Bank (IDB) atau Bank Pembangunan Islami,
merupakan lembaga keuangan multilateral yang didirikan pada tahun 1975 (1392 H)
oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk meningkatkan kualitas kehidupan
social ekonomi negara anggota dan masyarakat muslim dinegara bukan anggota
berlandaskan prinsip-prinsip Islami/ Syariah.
Kerjasama Pemerintah
Indonesia dengan Islamic Depelopment Bank (IDB)
Negara Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Islamic Depelopment
Bank. Kerjasama yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan IDB telah
dilakukan sejak tahun 1978 / 1398 H. Sharing Indonesia terhadap total modal IDB
sebesar 2,32 persen. Porsi ini menempatkan Indonesia dalam 10 besar negara
penyetor modal IDB. Saat ini Indonesia menjadi salah satu anggota Board
Executive Director (BED) di IDB.
Indonesia selalu ikut aktif berperan
dalam aktivitas IDB, baik dalam hal memberikan dukungan moral, financial,
maupun yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia. Dukungan moral,
antara lain terhadap masuknya beberapa negara menjadi anggota baru IDB, bantuan
pendanaan pada negara Palestina, dan negara anggota lain khususnya di kawasan Afrika
yang mengalami bencana alam, serta bantuan pembangunan daerah Mindanau,
Philippina Selatan. Dukungan financial, antara lain kontribusi Indonesia ke
dalam modal IDB (ordinary capital resources), kontribusi Indonesia ke dalam
modal Export Financing Scheme (EFS)-IDB, dan penyertaan Indonesia ke dalam
modal The Islamic Corporation for the Insurance of Investment and Export Credit
(ICIIEC).
Dukungan yang berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia dapat dilihat dari adanya dukungan terhadap
penempatan national agency di Indonesia yang dibutuhkan oleh IDB sebagai
channeling, line atau executing agent IDB di Indonesia. Tujuan penempatan
national agency tersebut adalah untuk memperlancar operasional IDB dalam
hubungan bilateral, korespondensi, komunikasi, pertukaran data dan informasi,
pencairan dana dan pembayaran kembali.
National agency yang telah ditunjuk
oleh Menteri Keuangan selaku Gubernur IDB untuk Indonesia meliputi :
Bidang IDB Scholarship Program dan
Merit Scholarship Programme, dilakukan oleh Biro Perencanaan & Hubungan
Kerjasama Luar Negeri, Departemen Keuangan;
Bidang penanganan bantuan
proyek-proyek, dilakukan oleh Bappenas, Departemen Keuangan (Direktorat Dana
Luar Negeri, dan Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman), dan Bank
Indonesia;
Bidang pemasaran perdagang-an,
dilakukan oleh Badan Pengembangan Ekspor Nasio-nal, Departemen Perindustrian
dan Perdagangan;
Bidang kerja sama perdagang-an,
Commitee for Commercial and Economic Corporation (COMCEC), dilakukan oleh
Departemen Luar Negeri;
Bidang kerja sama ilmu dan
teknologi, Committee for Science and Technology (COMSTECH) dan International
Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development
(IIFTIHAR), dilakukan oleh Kantor Menristek/BPP Teknologi;
Bidang pertukaran informasi melalui
OICIS-NET-SITA (Organization of Islamic Conference Information Systems
Network-Societe Internationale de Telecommunications Aeronutiques), dilakukan
oleh Biro Perencanaan & HKLN dengan code JKTIBCR;
Bidang asuransi (ICIIEC), dilakukan
oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (PT Jasindo);
Bidang penyaluran dana dari IDB,
dilakukan oleh Bank Mandiri meliputi Line of Instalment Sale, Equity, Islamic
Trade Financing Orgnization (ITFO), EFS serta trade financing;
Bidang kerja sama antar pengusaha
OKI (Organisasi Konperensi Islam), dilakukan oleh KADIN Komisi Timur Tengah dan
OKI;
Bidang kerja sama teknik, dilakukan
oleh Biro Kerja Sama Teknik Luar Negeri, Sekretariat Kabinet.
Sebagaimana ditetapkan dalam The
Articles of Agreement of Islamic Development Bank dalam Chapter II Article 5
bahwa setiap negara anggota diwajibkan menempatkan dananya sebagai penyertaan
modal. Untuk itu, kewajiban Indonesia adalah sebesar ID124.260.000,00 dengan
perincian, sudah dibayar sebesar ID63.100.000,00; 30 % dari sisanya sebesar
ID18.342.000,00 diangsur 10 x pembayaran per tahun, sedangkan 70 % dari
sisanya, yaitu sebesar ID42.812.000,00 bersifat callable, yaitu dapat ditarik
sewaktu-waktu.[4]
2.
ADB
( Asean Development Bank )
Latar Belakang Berdirinya ADB
Pada pertengahan 1960-an negara-negara di Asia sangat membutuhkan bantuan
Ekonomi untuk membiayai pertumbuhan dan pembangunan. Dari berbagai penjuru
dunia datang bantuan untuk negara-negara Asia, baik berupa dukungan politis
maupun bantuan ekonomi. Semula bantuan ini diharapkan dan datang dari
negara-negara Barat, namun dengan adanya perkembangan rasa nasionalisme -terutama
setelah selesai Perang Dunia II- mendorong rasa kerja sama diantara
negara-negara Asia sendiri. Kesemuanya ini tercermin dalam pembentukan berbagai
organisasi Asia, seperti Economic Commission for Asia and the Far East ( ECAFE)
yang terdiri dari negara-negara Asia yang telah menjadi anggota PBB pada saat
itu, SEATO dan lain-lain. Dalam suasana seperti inilah, ADB lahir dan
berkembang.
Fungsi dan Tujuan
ADB
didirikan pada tanggal 19 desember 1966 dengan tujuan mendorong pertumbuhan
ekonomi dan kerjasama di kawasan asia dan timur jauh serta ikut membantu
memperlancar proses pembangunan ekonomi di negara berkembang. Lebih jelasnya
Asian Development Bank didirikan untuk berfungsi dan mencapai tujuan-tujuan
sebagai berikut :
a.
Menyokong investasi modal Pemerintah maupun swasta di wilayah Asia untuk
tujuan-tujuan pembangunan.
b. Memanfaatkan
sumber-sumber dana yang tersedia untuk membiayai pembangunan di wilayah asia.dengan memprioritaskan wilayah dan
sub-wilayah Asia, berupa berbagai proyek dan program regional yang berperan
secra efektif terhadap pertumbuhan ekonomi yang selaras di wilayah tersebut
secra keseluruhan. Dan yang sangat diutamakan adalah kebutuhan dari
negara-negara kecil atau negara-negara yang sulit berkembang di wilayah Asia.
c.
Memenuhi permintaan negara.
Yang dimaksud adalah negara-negara
anggota dimana untuk membantu mereka dalam mengkoordinasikan
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan rencana pembangunan mereka dengan tujuan untuk
lebih memanfaatkan sumber daya- sumber daya yang dimiliki, menyehatkan
perekonomian, dan meningkatkan ekspansi perdagangan luar negeri, terutama di
antara negara-negara Asia sendiri.
d.
Memberikan bantuan teknis Technical Assistance )
Dimana
untuk menyiapkan, membiayai dan melaksanakan berbagai program dan proyek-proyek
pembangunan, termsuk merumuskan usulan bagi proyek-proyek tertentu.
e. Bekerja
sama dengan PBB, badan-badan organisasi di bawah PBB, dan berbagai lembaga
internasional lainnya yang berkaitan dengan aktivasi investasi Badan-badan organisasi di bawah PBB
terutama ECAFE, dan juga dengan berbagai lemabga negara dan lembaga
internasional lainnya, seperti berbagai organisasi nasional baik pemerintah
maupun swasta, yang berkepentingan dengan investasi dari pengembangan dana di suatu
wilayah, serta memberikan berbagai kesempatan untuk melakukan investasi bagi
lembaga-lembaga tersebut.
f.
Melaksanakan berbagai kegiatan dan memberikan berbagaijasa-jasa lainnya sesuai
dengan tujuan ADB.[5]
3.
IMF
( International Monetary Found )
Sejarah Berdirinya
IMF
Pada saat akhir Perang Dunia II tersebut, ekonomi cenderung
mengerucut pada satu tumpuan kekuatan, Amerika Serikat (AS). Britania Raya
mengalami kebangkrutan ekonomi akibat resesi sejak akhir abad ke-19 dengan
kehilangan cadangan emasnya.
Eropa Barat hancur sebagai akibat perang dunia. Demikian juga dengan Jepang. Dan tidak ada negara satu pun di dunia yang cukup kuat, kecuali AS.
AS menjadi kekuatan ekonomi tunggal pada saat itu dengan memiliki cadangan emas mencapai 65 persen dari seluruh dunia.
Dia juga menjadi pemimpin dalam Perang Dunia II dan menang. AS juga, yang secara fisik, tidak tersentuh dan terseret menjadi medan perang, kecuali wilayah Hawai yang dihajar bom oleh Jepang.
Atas dasar peta kekuatan tersebut, kesepakatan Bretton Woods sangat kental dengan nuansa peran AS dalam mengatur tatanan ekonomi dunia. Salah satunya, peran dolar AS sebagai satu-satunya alat pembayaran dunia. Pada saat itu, setiap mata uang ditetapkan nilai berdasarkan cadangan emas masing-masing negara dan kemudian menetapkan nilai tukar mata uang terhadap dolar AS berdasarkan nilai paritasnya terhadap emas masing-masing.
International Monetary Fund (IMF) muncul sebagai hasil dari perundingan Bretton Woods, pasca Great Depression yang melanda dunia pada dekade 1930-an. Pada Pada tanggal 22 Juli 1944 – sebagai akibat dari Great Depression – 44 negara mengadakan pertemuan di Hotel Mount Washington Hotel, Kota Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, untuk membahas kerangka kerja sama ekonomi internasional baru yang akan dibangun setelah Perang Dunia II. Negara-negara ini percaya bahwa kerangka kerja sama tersebut sangat dibutuhkan untuk menghindari pengulangan bencana ekonomi yang terjadi selama Great Depression. Pertemuan ini melahirkan “Bretton Woods Agreements” yang membangun IMF dan organisasi kembarannya, The International Bank for Reconstruction and Development (sekarang lebih dikenal dengan nama World Bank). Pada awalnya, IMF hanya beranggotakan 29 negara, namun kemudian pada awal tahun 2004 anggota IMF sudah mencapai 184 negara, yang berarti hampir semua negara anggota PBB juga menjadi anggota IMF.
Eropa Barat hancur sebagai akibat perang dunia. Demikian juga dengan Jepang. Dan tidak ada negara satu pun di dunia yang cukup kuat, kecuali AS.
AS menjadi kekuatan ekonomi tunggal pada saat itu dengan memiliki cadangan emas mencapai 65 persen dari seluruh dunia.
Dia juga menjadi pemimpin dalam Perang Dunia II dan menang. AS juga, yang secara fisik, tidak tersentuh dan terseret menjadi medan perang, kecuali wilayah Hawai yang dihajar bom oleh Jepang.
Atas dasar peta kekuatan tersebut, kesepakatan Bretton Woods sangat kental dengan nuansa peran AS dalam mengatur tatanan ekonomi dunia. Salah satunya, peran dolar AS sebagai satu-satunya alat pembayaran dunia. Pada saat itu, setiap mata uang ditetapkan nilai berdasarkan cadangan emas masing-masing negara dan kemudian menetapkan nilai tukar mata uang terhadap dolar AS berdasarkan nilai paritasnya terhadap emas masing-masing.
International Monetary Fund (IMF) muncul sebagai hasil dari perundingan Bretton Woods, pasca Great Depression yang melanda dunia pada dekade 1930-an. Pada Pada tanggal 22 Juli 1944 – sebagai akibat dari Great Depression – 44 negara mengadakan pertemuan di Hotel Mount Washington Hotel, Kota Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, untuk membahas kerangka kerja sama ekonomi internasional baru yang akan dibangun setelah Perang Dunia II. Negara-negara ini percaya bahwa kerangka kerja sama tersebut sangat dibutuhkan untuk menghindari pengulangan bencana ekonomi yang terjadi selama Great Depression. Pertemuan ini melahirkan “Bretton Woods Agreements” yang membangun IMF dan organisasi kembarannya, The International Bank for Reconstruction and Development (sekarang lebih dikenal dengan nama World Bank). Pada awalnya, IMF hanya beranggotakan 29 negara, namun kemudian pada awal tahun 2004 anggota IMF sudah mencapai 184 negara, yang berarti hampir semua negara anggota PBB juga menjadi anggota IMF.
Tujuan dibentuknya IMF
Lembaga ini berawal ketika PBB mensponsori Konferensi Keuangan dan Moneter di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tanggal 22 Juli, 1944. Artikel tentang Perjanjian IMF berlaku mulai 27 Desember 1945, dan organisasi IMF terbentuk pada tanggal 27 September 1945, sebagai bagian dari rencana rekonstruksi pasca Perang Dunia II dan memulai operasi pada 1 mater 1947.Lembaga ini, bersama Bank untuk Penyelesaian Internasional dan Bank Dunia, sering pula disebut sebagai institusi Ruli Anancuhi. Ketiga institusi ini menentukan kebijakan moneter yang diikuti oleh hampir semua negara-negara yang memiliki ekonomi pasar.
Sebuah negara yang menginginkan pinjaman dari IMF, keistimewaan BIS serta pinjaman pembangunan Bank Dunia, harus menyetujui syarat-syarat yang ditentukan oleh ketiga institusi[6]
Fungsi terbentuknya IMF
·
fungsi yang pertama yaitu pemantauan, yang
diartikan sebagai tanggung jawab mengawasi sistem keuangan internasional dan
mengawasi kepatuhan setiap negara anggota dalam memenuhi kewajibannya untuk
mengimplementasi kebijakan-kebijakan yang kondusif bagi pertumbuhan yang
terpadu seperti stabilitas harga, membantu memajukan pengaturan pertukaran yang
stabil dan menghindari manipulasi nilai tukar, serta memberikan data
perekonomiannya kepada IMF sehingga dapat memantau kondisi ekonomi dan
keuangan di seluruh dunia serta memeriksa apakah kebijakan di negara anggota terbukti
benar menurut sudut pandang internasional maupun nasional. Selain itu juga IMF
memiliki kewengan dalam memperingatkan negara anggota untuk mewaspadai bahaya
yang mengintai, dengan demikian pemerintah dapat mengambil tindakan pencegahan.
·
Untuk fungsi kedua yaitu peminjaman, yang
diartikan sebagai institusi yang memberikan pinjaman kepada negara-
negara yang mengalami kesulitan dengan neraca pembayarannya. Tujuan utama
peminjaman bagi negara-negara berpendapatan rendah adalah demi pertumbuhan
ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
·
Sedangkan fungsi ketiga yaitu bantuan teknis
dan pelatihan. Fungsi ketiga ini membuat IMF membantu negara-negara anggotanya
dalam memberikan saran untuk mengembangkan institusi pembuat kebijakan dan
instrument kebijakan ekonomi yang kuat.[7]
2.4
Dampak
Pinjaman Luar Negeri Indonesia
Pertama, dampak langsung dari
utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik. Kedua, dampak yang paling hakiki dari utang tersebut yaitu hilangnya
kemandirian akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan negeri,
oleh si pemberi pinjaman. Dapat dilihat pula dengan adanya indikator-indikator
baku yang ditetapkan oleh Negera-negara donor, seperti arah pembangunan yang
ditentukan. Baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri.
Pada akhirnya arah pembangunan
kita memang penuh kompromi dan disetir, membuat Indonesia makin terjepit dan
terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat negara Donor. Hal ini sangat
beralasan karena mereka sendiri harus menjaga, mengawasi dan memastikan bahwa
pengembalian dari pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman, mampu
dikembalikan. Alih-alih untuk memfokuskan pada kesejahteraan rakyat, pada
akhirnya adalah konsep tersebut asal jalan pada periode kepemimpinannya, juga
makin membuat rakyat terjepit karena mengembalikan pinjaman tersebut diambil
dari pendapatan negara yang harusnya untuk dikembalikan kepada rakyat yaitu
kekayaan negara hasil bumi dan Pajak.
Selain memberikan dampak seperti
yang diatas, utang luar negeri memiliki berbagai dampak baik positif dan
negatif yaitu:
1) Dampak Positif
Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu
pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan
belanja negara, yang diakibatkan oleh pembiayaan pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan adanya utang luar negeri
membantu pembangunan negara Indonesia, dengan menggunakan tambahan dana dari
negara lain. Laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang
telah ditetapkan sebelumnya.Selain itu, hutang luar negeri bisa
memberikan manfaat sebagai berikut:
·
Membantu
dan mempermudah negara untuk melakukan kegiatan ekonomi.
·
Sebagai
penurunan biaya bunga APBN
·
Sebagai
sumber investasi swasta
·
Sebagai
pembiayaan Foreign Direct Investment (FDI) dan kedalaman pasar modal
·
Berguna
untuk menunjang pembangunan nasional yang dimiliki oleh suatu negara
Menurut aliran neoklasik, utang luar negeri merupakan suatu hal yang
positif. Hal ini dikarenakan utang luar negeri dapat menambah cadangan devisa
dan mengisi kekurangan modal pembangunan ekonomi suatu negara. Dampak positif
ini akan diperoleh selama utang luar negeri dikelola dengan baik dan benar.
Setiap negara memiliki
perencanaan pembangunan yang berbeda-beda, tetapi memiliki kapasitas fiskal
yang terbatas. Untuk membiayai pembangunan, pemerintah memiliki apa yang
dikenal sebagai government spending. Jika selisih pengeluaran
pemerintah dengan tingkat penerimaan pajak bernilai defisit, maka alternatifnya
adalah dengan memanfaatkan pendanaan yang berasal dari luar negeri.
2) Dampak
Negatif
·
timbulnya krisis ekonomi yang makin lama
makin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini memperkuat krisis yang
lain dan begitu seterusnya sehingga terjadilah vicious circle.
·
Pemerintah akan terbebani dengan pembayaran
utang tersebut sehingga hanya sedikit dari APBN yang digunakan untuk
pembangunan.
·
Cicilan bunga yang makin memberatkan
perekonomian Indonesia kemudian bantuan tersebut negara akan dicap sebagai
negara miskin dan tukang utang karena tidak mampu untuk mengatasi perekonomian
negara sendiri sampai membutuhkan campur tangan dari pihak lain.
·
Selain itu, dalam jangka panjang utang luar
negeri dapat menimbulkan berbagai macam persoalan ekonomi negara Indonesia,
salah satunya dapat menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh(Inflasi) dan yang
pasti akan mengakibatkan ketergantungan dari penerima bantuan (dalam negeri)
terhadap pemberi bantuan (luar negeri).[8]
2.5
Faktor
Penyebab Utang Luar Negeri Indonesia
Setidaknya ada dua
alasan mengapa pemerintah di negara-negara berkembang tetap membutuhkan utang
luar negeri. Pertama, utang luar negeri dibutuhkan sebagai tambahan modal bagi
pembangunan prasarana fisik. Infrastruktur merupakan investasi yang mahal dalam
pembangunan. Kedua, utang luar negeri dapat digunakan sebagai penyeimbang
neraca pembayaran.[9]
Ada beberapa penyebab meningkat atau
menurunnya utang Luar negeri Indonesia secara umum yaitu:
1.
Defisit Transaksi Berjalan (TB)
TB merupakan perbandingan antara jumlah pembayaran yang diterima dari luar negeri dan jumlah pembayaran ke luar negeri. Dengan kata lain, menunjukkan operasi total perdagangan luar negeri, neraca perdagangan, dan keseimbangan antara ekspor dan impor, pembayaran transfer.
Lima tahun sebelum krisis ekonomi (1992/1993 – 1996/1997) indonesia mengalami defisit TB masing-masing tiap tahun (jutaan) : $2,311; $2,740; $3,248; $6,757 dan $7,847. Maka untuk menutup defisit itu pemerintah melakukan pinjaman luar negeri.
Sementara pada 2010, transaksi berjalan surplus US$5,643 miliar dan 2009 transaksi berjalan surplus US$10,628 miliar. jika dilihat pada triwulan I 2011 transaksi berjalan surplus US$2,089 miliar. Pada triwulan II 2011, transaksi berjalan US$237 juta. Dan triwulan III surplus US$0,2 miliar dan triwulan IV diramalkan mengalami defisit menurut Gubernur Bank Indonesia.
TB merupakan perbandingan antara jumlah pembayaran yang diterima dari luar negeri dan jumlah pembayaran ke luar negeri. Dengan kata lain, menunjukkan operasi total perdagangan luar negeri, neraca perdagangan, dan keseimbangan antara ekspor dan impor, pembayaran transfer.
Lima tahun sebelum krisis ekonomi (1992/1993 – 1996/1997) indonesia mengalami defisit TB masing-masing tiap tahun (jutaan) : $2,311; $2,740; $3,248; $6,757 dan $7,847. Maka untuk menutup defisit itu pemerintah melakukan pinjaman luar negeri.
Sementara pada 2010, transaksi berjalan surplus US$5,643 miliar dan 2009 transaksi berjalan surplus US$10,628 miliar. jika dilihat pada triwulan I 2011 transaksi berjalan surplus US$2,089 miliar. Pada triwulan II 2011, transaksi berjalan US$237 juta. Dan triwulan III surplus US$0,2 miliar dan triwulan IV diramalkan mengalami defisit menurut Gubernur Bank Indonesia.
Transaksi berjalan yang menurun tiap tahunnya, sebenarnya masih surplus, artinya seharusnya tidak perlu melakukan pinjaman utang. Tetapi ada peramalan-peramalan yang mengatakan triwulan kedepan defisit sehingga dibutuhkan utang pinjaman luar negeri, akhirnya indonesia kembali berhutang.
2. Meningkatnya kebutuhan investasi
Menurut Sunariyah (2003:4): “Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang.”
Hampir setiap tahun Indonesia menghadapi delima invesment-saving gap. Menurut kordinator bapenas Armida Alisjahbana pada tahun 2011, jumlah dana tabungan: 12,84 triliun Sementara kebutuhan investasi Rp 2.458,6 triliun;
Dengan adanya gap, Hal ini mendorong meningkatnya pinjaman LN, terutama pinjaman sektor swasta. Di samping kelangkaan dana, meningkatnya utang LN juga didorong oleh perbedaan tingkat suku bunga.
3. Meningkatnya Inflasi
inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor . Laju inflasi mempengaruhi tingkat suku bunga, karena ekspektasi inflasi merupakan komponen suku bunga nominal. Tingkat inflasi oktober 2011 sebesar 0,32% lalu meningkat november 2011 menjadi 0,34% trand inflasi meningkat menyebabkan Bank Indonesia memangkas suku bunga bahkan sampai 50 yaitu suku bunga november 2011 sebesar 6%.
Dengan rendahnya suku bunga maka minat orang untuk berinvestasi rendah, maka pemerintah untuk memenuhi belanja negaranya melalui pinjaman luar negeri.
4. Struktur perekonomian tidak efisien -- dengan alat ukur ICOR
Incremental capital output ratio (ICOR) adalah rasio antara investasi di tahun yang lalu dengan pertumbuhan output (PDRB). ICOR mencapai 4,9 (1984 – 2011) yang seharusnya antara 3 – 3.5. Jadi ada pemborosan sekitar 30%, karena tidak efisien dalam penggunaan modal, maka memerlukan invetasi besar. Hal ini mendorong utang luar negeri.[10]
2.6 Startegi Pengelolaan Utang Indonesia
Jika
dilihat dari sisi resiko jumlah utang pemerintah, hal tersebut tidak terlalu
mengkhawatirkan. Artinya, pemerintah tidak mungkin tidak mampu membayar. Hanya
saja, satu hal yang pasti adalah resiko jangka panjang di mana APBN yang
merupakan anggaran publik sebagian akan habis untuk pembayaran utang pokok dan
bunga.
Setiap tahun Indonesia mendapatkan utang US$3-5 miliar atau Rp30-50 triliun. Pada saat yang sama, pembayaran cicilan bunga dan utang pokok mencapai Rp100 triliun dalam APBN 2009 dan Rp101 triliun di 2010. Karena itu, defisit antara utang yang didapat dengan pembayaran bunga dan pokok utang sekitar US$5 triliun atau Rp50 miliar (Yustika, 2010).
Sampai saat ini nyaris tidak ada upaya untuk mencoba mengeliminasi utang. Sehingga, yang terkait dengan pendanaan selalu diselesaikan dengan utang melalui penjualan obligasi maupun utang luar negeri baik multilateral maupun lembaga donor.
Pemerintah boleh saja berutang, tapi harus ditentukan dan diperjelas sampai batas mana sehingga Indonesia bisa mencapai kemandirian dan lebih kuat secara ekonomi. Pengelolaan utang pemerintah terkait dengan penetapan jumlah utang yang aman bagi perekonomian dan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah dengan menciptakan kerangka hukum yang kuat. Oleh karena itu, perlu penetapan jumlah utang yang aman sesuai perekonomian Indonesia. Sesuai ‘IMF Country Report” tahun 2005 tingkat utang yang aman adalah tingkat utang yang tidak rentan terhadap krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu keseimbangan fiscal (fiscal sustainability). Menurut studi yang dilakukan oleh IMF tersebut, tingkat utang yang aman bagi pemerintah Indonesia adalah berkisar 35% s.d. 42 % dari GDP.
Sebagai tambahan dalam cara di atas, mungkin “rambu-rambu” utang perlu diperluas, selain tolok ukurnya PDB juga dapat dikembangkan tolok ukur lainnya, seperti misalnya dari total utang pemerintah ditetapkan sejumlah prosentase tertentu utang untuk menutup defisit, sedangkan selebihnya adalah untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur berjangka pendek yang menghasilkan pendapatan, seperti misalnya untuk eksplorasi minyak dan panas bumi. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi leluasa menggunakan hasil utang untuk mendanai hal-hal yang tidak penting, sementara itu di pihak lain sumber-sumber untuk membayar utang menjadi jelas dan tidak membebani negara.
Dewasa ini, strategi pengelolaan utang pemerintah dalam jangka panjang lebih difokuskan pada perolehan sumber pembiayaan untuk mendanai program-program pembangunan prioritas dan belum banyak memberikan perhatian pada pengelolaan biaya dan resiko (Suminto, 2006). Strategi ini masih bisa dijalankan mengingat portfolio utang pemerintah masih didominasi oleh Official Development Assistance (ODA) dari kreditur bilateral dan concessional loan dari kreditur multilateral, yang dianggap sebagai kredit dengan biaya murah dan resiko rendah.
Saat ini posisi utang pemerintah semakin besar dengan portfolio utang yang semakin beragam. Sejak tahun 2005, Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen utama pembiayaan defisit anggaran. Komposisi SBN didominasi oleh obligasi, baik domestik maupun internasional, yang tentunya memiliki eksposure yang tinggi terhadap fluktuasi perekonomian global. Oleh karena itu, strategi pengelolaan utang pemerintah harus difokuskan pada pengelolaan biaya dan resiko dari berbagai instrumen pembiayaan yang dimiliki sehingga dapat meminimalkan resiko yang mungkin terjadi seperti resiko terhadap perubahan suku bunga, resiko nilai tukar mata uang, dan resiko likuiditas.
Resiko suku bunga bisa ditekan dengan mengurangi porsi surat utang dengan tingkat suku bunga variabel dalam portofolio utang dan resiko nilai tukar bisa dikurangi dengan mengurangi porsi utang dalam denominasi valuta asing. Kedua resiko tersebut memang telah diantisipasi oleh lembaga terkait, namun menurut saya, masih perlu ada peningkatan di masa yang akan datang. Sedangkan resiko likuiditas bisa ditekan dengan diversifikasi instrumen di pasar.
Setiap tahun Indonesia mendapatkan utang US$3-5 miliar atau Rp30-50 triliun. Pada saat yang sama, pembayaran cicilan bunga dan utang pokok mencapai Rp100 triliun dalam APBN 2009 dan Rp101 triliun di 2010. Karena itu, defisit antara utang yang didapat dengan pembayaran bunga dan pokok utang sekitar US$5 triliun atau Rp50 miliar (Yustika, 2010).
Sampai saat ini nyaris tidak ada upaya untuk mencoba mengeliminasi utang. Sehingga, yang terkait dengan pendanaan selalu diselesaikan dengan utang melalui penjualan obligasi maupun utang luar negeri baik multilateral maupun lembaga donor.
Pemerintah boleh saja berutang, tapi harus ditentukan dan diperjelas sampai batas mana sehingga Indonesia bisa mencapai kemandirian dan lebih kuat secara ekonomi. Pengelolaan utang pemerintah terkait dengan penetapan jumlah utang yang aman bagi perekonomian dan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah dengan menciptakan kerangka hukum yang kuat. Oleh karena itu, perlu penetapan jumlah utang yang aman sesuai perekonomian Indonesia. Sesuai ‘IMF Country Report” tahun 2005 tingkat utang yang aman adalah tingkat utang yang tidak rentan terhadap krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu keseimbangan fiscal (fiscal sustainability). Menurut studi yang dilakukan oleh IMF tersebut, tingkat utang yang aman bagi pemerintah Indonesia adalah berkisar 35% s.d. 42 % dari GDP.
Sebagai tambahan dalam cara di atas, mungkin “rambu-rambu” utang perlu diperluas, selain tolok ukurnya PDB juga dapat dikembangkan tolok ukur lainnya, seperti misalnya dari total utang pemerintah ditetapkan sejumlah prosentase tertentu utang untuk menutup defisit, sedangkan selebihnya adalah untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur berjangka pendek yang menghasilkan pendapatan, seperti misalnya untuk eksplorasi minyak dan panas bumi. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi leluasa menggunakan hasil utang untuk mendanai hal-hal yang tidak penting, sementara itu di pihak lain sumber-sumber untuk membayar utang menjadi jelas dan tidak membebani negara.
Dewasa ini, strategi pengelolaan utang pemerintah dalam jangka panjang lebih difokuskan pada perolehan sumber pembiayaan untuk mendanai program-program pembangunan prioritas dan belum banyak memberikan perhatian pada pengelolaan biaya dan resiko (Suminto, 2006). Strategi ini masih bisa dijalankan mengingat portfolio utang pemerintah masih didominasi oleh Official Development Assistance (ODA) dari kreditur bilateral dan concessional loan dari kreditur multilateral, yang dianggap sebagai kredit dengan biaya murah dan resiko rendah.
Saat ini posisi utang pemerintah semakin besar dengan portfolio utang yang semakin beragam. Sejak tahun 2005, Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen utama pembiayaan defisit anggaran. Komposisi SBN didominasi oleh obligasi, baik domestik maupun internasional, yang tentunya memiliki eksposure yang tinggi terhadap fluktuasi perekonomian global. Oleh karena itu, strategi pengelolaan utang pemerintah harus difokuskan pada pengelolaan biaya dan resiko dari berbagai instrumen pembiayaan yang dimiliki sehingga dapat meminimalkan resiko yang mungkin terjadi seperti resiko terhadap perubahan suku bunga, resiko nilai tukar mata uang, dan resiko likuiditas.
Resiko suku bunga bisa ditekan dengan mengurangi porsi surat utang dengan tingkat suku bunga variabel dalam portofolio utang dan resiko nilai tukar bisa dikurangi dengan mengurangi porsi utang dalam denominasi valuta asing. Kedua resiko tersebut memang telah diantisipasi oleh lembaga terkait, namun menurut saya, masih perlu ada peningkatan di masa yang akan datang. Sedangkan resiko likuiditas bisa ditekan dengan diversifikasi instrumen di pasar.
Selain memikirkan bagaimana cara mengelola utang dengan baik, Pemerintah Indonesia harus berupaya di masa depan tidak lagi menambah hutang. Maka disarankan agar Anggaran Investasi Tahunan (CAPEX) untuk pembangunan gedung, kendaraan, dan lain-lain sebesar Rp 400 Trilyun diubah menjadi Anggaran Operasional untuk menyewa gedung-gedung, kendaraan, dan lain-lain, sehingga dapat menghemat biaya-biaya perawatan kalau memiliki berupa Gedung, Kendaraan, dan lain-lain yang bisa mencapai ratusan Trilyun Rupiah (Ramli, 2009). Penghematan Anggaran Investasi tahunan tersebut dapat dipergunakan untuk membangun Infrastruktur, seperti jalan-jalan raya, memberi kerja kepada ratusan ribu pekerja Indonesia untuk jangka panjang, serta memajukan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.[11]
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hutang luar negeri diartikan sebagai penerimaan negara dalam bentuk devisa ataupun dalam
bentuk devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang
diterima dari Pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PPHLN) yang harus dibayar
kembali dengan persyaratan tetentu atau hutang luar negeri adalah sumber
pembiayaan negara yang berasal dari negara asing, badan/lembaga keuangan
internasional atau dari pasar uang internasional yang berbentuk devisa, barang,
dan atau jasa termasuk penjaminan yang mengakibatkan pembayaran di masa yang
akan datang yang harus dibayar kembali sesuai kesepakatan bersama.
Bentuk
pinjaman luar negeri dapat dilihat dari dua aspek yaitu
1)
Sumber
dananya,terdiri dari :
·
Pinjaman bilateral
·
Pinjaman multilateral
·
Pinjaman sindikasi
2)
Segi persyaratannya,terdiri dari :
·
Pinjaman lunak
·
Purchase
Installment Sale Agreement (PISA)
·
Pinjaman
komersial
Lembaga yang
menjadi kreditor bagi Indonesia :
·
IDB ( Islamic Development Bank )
·
ADB ( Asean Development Bank )
·
IMF ( international monetary found )
DAFTAR PUSTAKA
ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, 1983, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 643-646.
[1]
ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan
dan Perencanaan, 1983, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 643-646.
[2] http://berkuag.blogspot.com/2013/11/dampak-dan-pengaruh-hutang-luar-negeri.html,diakses
pada tanggal 14 november 2014 pukul 08.33.
[3]
http://nurulhumaira44.blogspot.com/2012/06/utang-luar-negri.html,diakses
pada tanggal 14 november 2014 pukul 08.33
[4] http://abahanom-kng.blogspot.com/2012/10/islamic-development-bank-idb.html,diakses
pada tanggal 13 november 2014 pukul 13.30.
[5]
http://yuarta.blogspot.com/2011/03/bank-pembangunan-asia.html,diakses
pada tanggal 13 november 2014 pukul 13.30.
[6] http://ddayipdokumen.blogspot.com/2013/02/sejarah-dan-tujuan-terbentuknya-imf.html, diakses pada tanggal 13 november
2014 pukul 13.30.
[7]
http://peter-sina.blogspot.com/2011/09/sejarah-konteks-tujuan-dan-fungsi-imf.html,
diakses pada tanggal 13
november 2014 pukul 13.30.
[8]
http://raylaprajnariswaribk-fisip13.web.unair.ac.id
, diakses pada tanggal 13 november 2014 pukul 13.30.
[9] http://berkuag.blogspot.com/2013/11/dampak-dan-pengaruh-hutang-luar-negeri.html,
diakses
pada tanggal 13 november 2014 pukul 13.30.
[10]
http://elderaya.blogspot.com/2012/01/faktor-penyebab-utang-luar-negeri.html
, diakses pada tanggal 13 november 2014 pukul 13.30.
[11] http://taufiktanjung.blogspot.com/2010/03/pendahuluan-akumulasi-utang-pemerintah.html.
diakses pada tanggal 13 november 2014 pukul 13.30.