Kamis, 05 Februari 2015

Good Governance Bisnis Syariah



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk.
Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang cukup memprihatinkan, namun sangat menarik untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis.
Namun harus dipahami, bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasan perilakunya. Oleh karena itu, Islam memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram).

B.     Rumusan Masalah
1.      Prinsip dasar asas Good Governance Bisnis Syariah?
2.      Bagaimana pedoman pelaksanaan bisnis yang dicontohkan Rasulullah Saw.?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui prinsip dasar asas good governance bisnis syariah.
2.      Untuk mengetahui pedoman pelaksanaan yang dicontohkan Rasulullah Saw.








BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Prinsip Dasar GGBS
Semua pihak yang terkait dengan bisnis syariah harus memastikan bahwa asas GGBS dijadikan pijakan dasar bagi setiap aspek dan kegiatan usaha yang dilakukan, GGBS didasarkan atas pijakan dasar spiritual dan pijakan dasar operasional.
1.      Secara spriritual, dalam rangka memperoleh keberkahan, bisnis syariah harus berdasarkan daripada iman dan taqwa yang diwujudkan dalam bentuk komitmen pada prinsip dasar yaitu halal dan tayib (baik) sebagaimana firman Alllah Swt dalam Surah Al-Baqarah/2:168 yaitu: ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari pada apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata bagimu.” Dan Al-A’raf/7:96 sebagai berikut “jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebaban perbuatannya.”
a.       Prinsip dasar hahal
Allah Swt memerintahkan hambanya untuk melakukan yang halal dan melarang yang bathil dalam kegiatan bisnis: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah/2:188), baik terkait dengan produk barang maupun proses kegiatannya. Prinsip dasar halal dalam bisnis dilakukan dengan menghindari kegiatan bisnis yang dilarang. Dalam Al-Qur’an kegiatan bisnis yang dilarang antara lain:
1)      Riba
“Orang-orang yang makan (mengmbil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka  yang demikian itu, adalah disebebkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Swt menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusan (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (Al-Baqarah/2:275).
2)      Maysir
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari megingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (mengerjakan pekerjaan itu).”  (Al_Maidah/5:90-91)
3)      Gharar
“….dan janganlah kamu mencurangi harta orang lain…” (QS. Al-A’raf/7:85).  “Sesungghuhnya Nabi S.A.W melarang daripada jual beli gharar (spekulatif dan ketidakpastian)”. (riwayat muslim)
4)      Zhulm
“Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memsuhi kamu),maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah/2:193)
5)      Tabdzir
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekan akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan-menghamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya pemborosan-pemborosan itu adalah saudara-saudara syaian dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya” (Al-Isra/17:26-27)
6)      Risywah
“….dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (dengan menyuapnya), supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu secara batil, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah/2:188)
7)      Maksiyat
“….Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan tetapi Alllah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiayatan.” (Al-Hujurat/49:7)
Berdasarkan kaidah fiqih yang disepakati oleh banyak ulama, segala hal dalam bermuamalah pada dasarnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya (al-ashlus fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadulla daliilaan ‘alaa tahriimihaa).
b.      Prinsip dasar Tayib
Allah Swt berfirman dalam surah Al-maidah/5:5 yang artinya: “…. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik (tayyibat)….” Tayib memiliki pengertian yang mencangkup segala nilai-nilai kebaikan yang menjadi nilai tambah dari hal-hal  yang halal dakam rangka pencampaian tujuan syariah (maqashidusy syariah) yaitu keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas (mushlahah al-‘ammanah). Tayib meliputi dua aspek yaitu ihsan dan tawazun.
1)      Ihsan
Ihsan adalah melakukan atau memberikan yang terbaik dan menghindari perilaku yang merusak. “… dan berbuatlah yang terbaik (kepada orang laian) sebagaimana Allah telah berbuat yang terbaik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash/28:77).
2)      Tawazun
Tawazun adalah neraca keseimbangan dalam arti makro yang mencangkup diantaranya keseimbangan antara sepiritual dan material, eksplorasi dan konservasi, sektor finansial dan sektor rill, risiko dan hasil. “dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya, dan Allah telah meninggikan langit dan dia meletakan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang necara itu.” (Ar-Rahman/55:6-8)
2.      Secara operasional bisnis syariah mengacu pada dua asas. Asas pertama adalah ShiFAT dan perilaku nabi dalam beraktivitas termasuk dalam berbisnis yaitu shidiq, fathonah, tabligh dan amanah. Asas yang kedua adalah asas yang dipakai dalam dunia usaha pada umumnya yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan. Kedua asas operasional tersebut diperlukan untuk mencapai kesinambungan (sustainability) dengan memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholder).

B.     Pedoman Pokok Pelaksanaan
1.      Pedoman Pelaksanaan yang dicontohkan Rasulullah Saw
Praktik pelaksanaan bisnis yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, menggambarkan sifat dan perilaku beliau, sebaimana yang disepakati oleh semua para ulama, yaitu shidiq, fathonah, tabligh dan amanah atau yang disungkat ShiFAT (bahasa Arab) yang berarti sifat. Keempat sifat ini memiliki kandungan pengertian antara lain:
a.       Shiddiq berarti benar, yaitu senantiasa melakukan kebenaran dan kejujuran dimanapun berada dan kepada siapapun. Implikasinya dalam berbisnis adalah tegaknya kejujuran dan menghindari segala bentuk penipuan, penggelapan dan perilaku dusta.
b.      Fathanah berarti cerdas, yitu mampu berfikir secara jernih dan rasional serta mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Dalam dunia bisnis sifat fathanah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menetapkan hal-hal dan atau kegiatan yang halal, tayib, ikhsan dan tawazun.
c.       Amanah berarti dapat dipercaya, yaitu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Allah dan orang lain. Dalam bisnis, pemberian kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas atas kegiatan-kegiatan bisnis.
d.      Tabligh berarti menyampaikan, yaitu menyampaikan risalah dari Allah tentang kebenaran yang harus ditegakkan dimuka bumi. Kebenaran risalah ini harus diteruskan olah omat islam dari waktu ke waktu agar islam menjadi rahmat bagi alam semesta. Dalam dunia bisnis, penympaian risalah kebenaran dapat diwujudkan secara sosialisai praktik-praktik bisnis yang baik dan bersih, termasuk perilaku bisnis Rasulullah dan para sahabtnya.
Keempat sifat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan merupakan salah satu perwujudan dari iman dan takwa.
2.      Pedoman Pelaksanaan yang Berlaku Umum
Dari keempat satuan Sifat  nabi dan rasul dapat diteruskan asas GGBS yang masih berjalan dengan asas GCG yang berlalu secara umum dalam dunia usaha yaitu TARIK: Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Indepedensi serta Kewajaran dan Kesetaraan (fairness).
a.       Transparansi
Berdasarkan prinsip syariah yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah/2:282: “… Dan transparankanlah (persaksikanlah) jika kalian slaing bertransaksi…”, dan berdasarkan hadits yang menyatakan “…barang siapa yang melakukan ghisy (menyembunyikan informasi yang diperlukan dalam transaksi) bukan termasuk umat kami”, maka semua transaksi harus dilakukan secara transparan.
Transparansi (Transparancy) mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis secara objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan yang sesuai dengan ketentuan syariah.
b.      Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan asas penting dalam bisnis syariah sebagaimana tercermin dalam surat al-Isra/17: 84 yang artinya “Katakanlah setiap entitas bekerja sesuai dengan posisinya dan Tuhan kalian lebih mengetahui siapa yang paling benar jalannya diantara kalian”. Dan dalam ayat 36 yang artinya “…Dan janganlah kamu berbuat sesuatu tanpa pengetahuan atasnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban”. Tanggungjawab atas perbuatan manusia dilakukan baik di dunia maupun di akhirat, yang semuanya direkam dalam catatan yang akan dicermati nanti, sebagaimana firman Allah SWT dalam  surat AL-Isra/17:14 yang artinya: “ bacalah kitabmu(laporan pertanggung jawaban-mu). Cukuplah kamu pada waktu itu mengevaluasi dirimu sendiri”.
Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Pelaku bisnis syariah harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu bisnis syariah harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan pelaku bisnis syariah dengan tetap memperhitungkan pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
c.       Responsibilitas
Dalam hubungan dengan asas responsibilitas (responsibility), pelaku bisnis syariah harus mematuhi peraturan perundang-undangan dan ketentuan bisnis syariah, serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nisa/4:59. “wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada ulil amri diantara kamu….”. Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah yang diturunkan dari sabda Rasulullah Saw, al-kharaj bidhdaman yang artinya bahwa usaha adalah sebanding dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat pula dimengerti sebagai resiko yang berbanding lurus dengan pulangan (return). dengan pertanggung jawaban ini maka entitas bisnis syariah dapat terpelihara kesinambungannya dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai pelaku bisnis yang baik (good corporate citizen). 
d.      Independensi
Dalam hubungan dengan asas independensi (independency), bisnis syariah harus dikelola secara independen sehingga masing-masing pihak tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Independensi terkait dengan konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap bertegang teguh pada kebenaran meskipun harus menghadapi resiko. Dalam surat fushshilat/ 41:30, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah kepadamu”. Independensi merupakan karakter manusia yang bijak (ulul al-bab) yang dalam al-Quran disebutkan sebanyak 16 kali, yang diantara karakternya adalah “Mereka yang mampu menyerap informasi (mendengar perkataan) dan mengambil keputusan (mengkuti) yang terbaik (sesuai dengan nuraninya tanpa tekanan pihak manapun)”. (Az-Zumar/ 39:18).
e.       Kewajaran dan Kesetaraan
Kewajaran dan kesataraan (fairness) mengandung unsure kesamaan perlakuan dan kesempatan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah/ 5:8, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap orang (golongan) lain menyebabkan kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah kamu karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah karena Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Fairness atau kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil dalam dunia bisnis. Setiap keputusn bisnis, baik dalam skala individu maupun lembaga, hendaklah dilakukan sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan apa yang bisa berlaku, dan tidak diputuskan berdasar suka atau tidak suka. Pada dasarnya, semua keputusan bisnis akan mendapatkan hasil yang seimbang dengan apa yang dilakukan oleh setiap entitas bisnis, baik di dunia maupun akhirat. Dalam melaksanakan kegiatannya, pelaku bisnis syariah harus senantiasa memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan, berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
BAB 3
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Semua pihak yang terkait dengan bisnis syariah harus memastikan bahwa asas GGBS dijadikan pijakan dasar bagi setiap aspek dan kegiatan usaha yang dilakukan, GGBS didasarkan atas pijakan dasar spiritual dan pijakan dasar operasional.
Secara spriritual, dalam rangka memperoleh keberkahan, bisnis syariah harus berdasarkan daripada iman dan taqwa yang diwujudkan dalam bentuk komitmen pada prinsip dasar yaitu halal dan tayib (baik). Prinsip dasar halal dalam bisnis dilakukan dengan menghindari kegiatan bisnis yang dilarang, yaitu riba, maysir, gharar, tabdzir, risywah, maksiat, dan zhulm. Sedangkan prinsip tayib meliputi dua aspek yaitu ihsan dan tawazun.
Secara operasional bisnis syariah mengacu pada dua asas. Asas pertama adalah ShiFAT (shidiq, amanah, tabligh, fathanah) dan perilaku nabi. Asas yang kedua adalah asas yang dipakai dalam dunia usaha pada umumnya yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.








Good Coorporate Governance



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan perkembangan yang  cepat tersebut, satu hal perlu dicermati adalah aspek Good Coorporate Govarnance (GCG) karena terkait dengan berbagai macam resiko kerugian yang jika tidak diperhatikan akan merusak citra syariah di masa depan dan menjerumuskan bank syariah ke jurang kehancuran.
Bank syariah yang semakin mekar tersebut, wajib dicegah dari  berbagai resiko kerugian, baik kerugian finansial maupun resiko reputasi. Dr. Muliaman D Hadad, Deputy Gubernur BI, berkali-kali mengingatkan pegiat bank syariah agar ekstra keras mengawal bank syariah dari kemungkinan buruk di masa depan. Sekali sebuah  lembaga perbankan syariah bermasalah , maka citra bank syariah akan rusak. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, dibutuhkan biaya besar dan waktu yang panjang.
Prof. Dr M.Umer Chapra dalam buku Corporate Governance for Islamic Banking, menekankan pentingnya  penerapan Good Corporate Governance yang efektif di lembaga keuuangan syariah.  GCG adalah pilar penting yang harus diciptakan untuk mewujudkan bank syariah yang unggul dan tangguh. Penerapan  GCG semakin penting, karena konsep bank syariah menggunakan risk sharing.
Penerapan Good Corporate Governance terbukti di dalam penelitian dibeberapa lembaga keuangan syariah di dunia muslim dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah. Kegagalan dalam penerapan prinsip syariah akan membuat nasabah pindah ke bank lain sebesar 85%.(Umar Chapra dan Ahmad M Umer Chapra dan Habib Umar, 2002.: 98).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Good Corporate Governance (GCG)?
2.      Apa saja prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG)?
3.      Bagaimana penerapan GCG pada Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, dan Direksi?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Good Corporate Governance (GCG)
2.      Mengetahui apa saja prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG)
3.  Mengetahui bagaimana penerapan GCG pada Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, dan Direksi?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Good Corporate Governance (GCG)
Kata governance berasal dari bahasa Perancis gubernance yang berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut dipergunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau jenis organisasi yang lain, menjadi corporate governance. Dalam bahasa Indonesia corporate governance diterjemahkan sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan (Sutojo dan Aldridge, 2008).
Istilah Good Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee di tahun 1992 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporan mereka yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report. Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning point) yang sangat menentukan bagi praktik Good Corporate Governance di seluruh dunia.
Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai system yang mengarahkan dan mengontrol perusahaan.[1] Secara formal, corporate governance dapat didefinisikan sebagai system hak, proses, dan control secara keseluruhan yang ditetapkan secara internal dan eksternal atas manajemen sebuah entitas bisnis dengan  tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan semua stockeholder.[2]
Menurut FCGI (2001) pengertian Good Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan esktern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Menurut Rahmawati (2006) dalam Putri (2006) Good Corporate Governance didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan prinsip-prinsip antara lain fairness, transparency, accountability dan responsibility, yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen, perusahaan (direksi dan komisaris), kreditur, karyawan serta stakeholders lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
           Berdasarkan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-117/M-MBU/2002, Good Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan etika.
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Coopers et al., (2006) yang menyatakan bahwa Good Corporate Governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif. Dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola resiko dan bertanggung jawab dengan meperhatikan kepentingan stakeholder.
Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan untuk mengatur kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.

B.     Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Good corporate governance adalah tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Dalam bagian penjelasan umum PBI No. 8/4/PBI/2006 dikemukakan mengenai arti dari setiap prinsip GCG tersebut, yaitu sebagai berikut:
Pertama, transparansi (transparancy) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Seperti yang terkandung di dalam surat Al-Baqarah ayat 280 :
 
Artinya : “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
 Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Kejelasan fungsi atau keahlian merupakan poin penting, Allah SWT berfirman Al-Baqarah ayat 282 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
 Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Allah berfirman dalam surat Shod ayat 26 :

Artinya : “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 102 :

Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.
 Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Allah berfirman dalam surat Annisa ayat 58 :
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
GCG pada lembaga keuangan, khususnya bank memiliki keunikan bila dibandingkan governance pada lembaga keuangan non-bank. Hal ini lebih disebabkan oleh kehadiran deposan sebagai suatu kelompok stakeholders yang kepentingannya harus diakomodir dan dijaga. Sementara itu khusus dalam perbankan syariah dikenal adanya prinsip-prinsip syariah yang mendukung bagi terlaksananya prinsip GCG dimaksud, yakni keharusan bagi subjek hukum termasuk bank untuk menerapkan prinsip kejujuran (shiddiq), edukasi kepada masyarakat (tabligh), kepercayaan (amanah), dan pengelolaan secara profesional (fathanah).
C.    Penerapan Good Corporate Governance pada Dewan Pengawas Syariah
Dalam PBI tersebut terdapat enam poin penting yang mengatur masalah Dewan Pengawas Syariah, yaitu :
1)      Persyaratan DPS (pasal 45-45)
Ketentuan dalam Bank Indonesia  menyebutkan jumlah anggota DPS sedikitnya 2 orang dan sebanyak-banyaknya setengah dari jumlah direksi  (Ketentuan ini juga sesuai dengan UU No 40/2008 tentang  Perseroan Terbatas. Selain itu,  harus memperoleh rekomendasi dari DSN. Selanjutnya anggota DPS  harus diwawancara oleh Bank Indonesia menyangkut masalah Integritas , Kompetensi . dan Komitmen.

2)      Tugas dan Tanggung jawab (pasal 46-48)
DPS tidak melakukan pengawasan operasional perbankan dalam konteks resiko kerugian financial, seperti adanya  moral hazard yang dilakukan direksi atau oknum perbankan terhadap nasabah. Karena itu, tidak tepat jika seorang jaksa memanggil DPS terkait adanya kolusi pejabat bank dengan nasabah. Hal itu dikarenakan di luar tugas dan wewenang DPS. DPS tidak boleh dipandang sebagai komisaris, karena DPS hanya bertugas menilai kesyariahan produk dan syariah compliance lainnya.
3)      Rapat DPS (pasal 49)
                                   a.        Rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
                                  b.        Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas Syariah dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.
                                   c.        Seluruh keputusan Dewan Pengawas Syariah yang dituangkan dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah.
                                  d.        Hasil rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik.
4)      Transparansi (pasal 50-51)
Anggota  Dewan  Pengawas Syariah wajib mengungkapkan rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah lain dalam laporan pelaksanaan GCG sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
5)      Sanksi (pasal 81-82)
                                      a.     Dalam hal terdapat 3 (tiga) kali teguran tertulis dari Bank Indonesia terkait pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 46,  Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 50 dan Pasal 51, maka BUS atau UUS terkait harus mengganti anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut.
                                     b.     Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sampai dengan izin usaha Bank dicabut, maka anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud dapat dikenakan sanksi berupa pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di perbankan syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan izin usaha Bank oleh Bank Indonesia.
6)      Lap. Hasil Pengawasan Syariah (pasal 88)
Pasal ini sesungguhnya bukan tugas dan tanggung jawab DPS, tetapi kewajiban bank syariah untuk menyampaikan hasil laporan Dewan Pengawas Syariah ke bank Indonesia.  Pasal 88 PBI tersebut menyebutkan :
                                      a.     Bank yang tidak mentaati ketentuan pelaporan hasil pengawasan DPS sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat 4, pelaporan perubahan pedoman, sistem dan prosedur sebagaimana dimaksud, dalam pasal 58, ayat 1 dan ayat 2, serta pelaporan perubahan struktur, kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat 3 dan 5, dapat dikenakan sanksi administrasi seuai pasal 58 Undang Undang No 21 Tahun 2008 tentang perbannkan syariah berupa :
·         Teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar 1 Juta perhari kerja. Kelambatan ntuk setiap pelaporan.
·         Teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp 40 juta apabila bank tidak menyampaikan laporan.
                                        b.  Bank diunyatakan tidak menyampaikan laporan  sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, apabila bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 1 bulan, sejak batas akhir penyampaian laporan. Untuk pelaporan perubahan pedoman sistem dan prosedur serta pelaporan perubahan struktur kelompok usaha
                                        c.  Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b apabila bank belum mehyampaikan laporan dimaksud setelah 2 bulan sejak batas akhir penyampaian laporan untuk pelaporan hasil pengawasan DPS.
                                       d.  Pengenaan sanksi sebagaimna dimaksud pada ayat 1 tidak menghapuskan kewajiban bank untuk menyampaikan laporan dimaksud.

D.    Penerapan Good Corporate Governance pada Dewan Direksi
Jumlah anggota dewan Komisaris paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Paling kurang 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia. Dewan direksi merupakan pihak dalam suatu entitas perusahaan yang  bertugas melakukan melaksanakan operasi dan kepengurusan perusahaan.  Anggota dewan direksi diangkat oleh RUPS. Menurut Undang-Undang Perseroan  Terbatas, yang dapat diangkat menjadi anggota dewan direksi adalah orang  perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah  dinyatakan pailit atau menjadi anggota dewan direksi atau komisaris yang  dinyatakan bersalah menyebabkan perusahaan dinyatakan pailit, atau orang yang  pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan  negara dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatan.
Dewan direksi merupakan pihak dalam suatu entitas perusahaan yang  bertugas melakukan melaksanakan operasi dan kepengurusan perusahaan.  Anggota dewan direksi diangkat oleh RUPS.
 Fungsi, wewenang, dan tanggung jawab direksi secara tersurat diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam undangundang ini, dewan direksi memiliki tugas antara lain:
1.      Memimpin perusahaan dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan perusahaan,
2.      Memilih, menetapkan, mengawasi tugas dari karyawan dan kepala bagian (manajer),
3.      Menyetujui anggaran tahunan perusahaan,
4.      Menyampaikan laporan kepada pemegang saham atas kinerja perusahaan.

E.     Penerapan Good Corporate Governance pada Dewan Komisaris
Jumlah anggota dewan Komisaris paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Paling kurang 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia.
Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen dan paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris adalah Komisaris Independen.
Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Lebih lanjut tugas-tugas utama Dewan Komisaris meliputi:
  1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset;
  2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota Dewan Direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota Dewan Direksi yang transparan dan adil;
  3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota Dewan Direksi dan anggota Dewan Komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan;
  4. Memonitor pelaksanaan Governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu;
  5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan untuk mengatur kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
Good corporate governance adalah tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
Dalam PBI tersebut terdapat enam poin penting yang mengatur masalah Dewan Pengawas Syariah, yaitu Persyaratan DPS (pasal 45-45), Tugas dan Tanggung jawab (pasal 46-48), Rapat DPS (pasal 49), Transparansi (pasal 50-51), Sanksi (pasal 81-82), dan Lap. Hasil Pengawasan Syariah (pasal 88).
Dewan direksi merupakan pihak dalam suatu entitas perusahaan yang  bertugas melakukan melaksanakan operasi dan kepengurusan perusahaan.  Anggota dewan direksi diangkat oleh RUPS.
Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan.
B.     Saran
Pengelolaan sebuah korporasi yang baik atau Good Corporate Governance menjadi kepatutan dalam menjalankan roda koordinasi perusahaan yang sistematis dan terstruktur. Ketegasan pemantapan posisi tiap-tiap “pemeran” dalam sebuah perusahaan menjadi pedoman dasar yang mengakar sehingga tidak ada ketimpangan wewenang. Ketimpangangan wewenang dapat mengakibatkan kesenjangan bahkan men-disband sebuah perusahaan, khususnya perbankan syariah. Oleh karena itu, garis perintah perusahaan harus melekat di tiap benak penjalan perusahaan.



Daftar Pustaka

Cadbury Committee, Report of the Committee on The Financial Aspects of Corparate Govermance, London: Gee & Co. 1992.

K. Lannoo, Corporate Governance in Eropa, CEPS Working Party Report No. 12 Centre for European Studies, Brussels, 1995.




http://tulisanwinahmengenaibep-winah.blogspot.com/2010/12/penerapan-good-corporate-governance-di.html


[1] Cadbury Committee, Report of the Committee on The Financial Aspects of Corparate Govermance, London: Gee & Co. 1992.
[2] K. Lannoo, Corporate Governance in Eropa, CEPS Working Party Report No. 12 Centre for European Studies, Brussels, 1995.