BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika dipahami sebagai seperangkat
prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of principles which people
live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan
rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk.
Perubahan dan
perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang cukup
memprihatinkan, namun sangat menarik untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas
hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada
khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak menanggalkan
nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis.
Namun harus
dipahami, bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan
setiap manusia, menurut ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasan
perilakunya. Oleh karena itu, Islam memberikan kategorisasi bisnis yang
diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram).
B. Rumusan Masalah
1.
Prinsip dasar asas Good Governance Bisnis
Syariah?
2.
Bagaimana pedoman pelaksanaan bisnis yang
dicontohkan Rasulullah Saw.?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui prinsip dasar asas good
governance bisnis syariah.
2.
Untuk mengetahui pedoman pelaksanaan yang
dicontohkan Rasulullah Saw.
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Prinsip
Dasar GGBS
Semua
pihak yang terkait dengan bisnis syariah harus memastikan bahwa asas GGBS
dijadikan pijakan dasar bagi setiap aspek dan kegiatan usaha yang dilakukan,
GGBS didasarkan atas pijakan dasar spiritual dan pijakan dasar operasional.
1.
Secara spriritual, dalam rangka memperoleh
keberkahan, bisnis syariah harus berdasarkan daripada iman dan taqwa yang
diwujudkan dalam bentuk komitmen pada prinsip dasar yaitu halal dan tayib
(baik) sebagaimana firman Alllah Swt dalam Surah Al-Baqarah/2:168 yaitu: ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari pada apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata
bagimu.” Dan Al-A’raf/7:96 sebagai berikut “jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka
disebaban perbuatannya.”
a. Prinsip
dasar hahal
Allah
Swt memerintahkan hambanya untuk melakukan yang halal dan melarang yang bathil
dalam kegiatan bisnis: “Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah/2:188), baik terkait
dengan produk barang maupun proses kegiatannya. Prinsip dasar halal dalam
bisnis dilakukan dengan menghindari kegiatan bisnis yang dilarang. Dalam
Al-Qur’an kegiatan bisnis yang dilarang antara lain:
1) Riba
“Orang-orang yang makan (mengmbil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebebkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah Swt menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan);
dan urusan (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.”
(Al-Baqarah/2:275).
2) Maysir
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari megingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (mengerjakan pekerjaan itu).” (Al_Maidah/5:90-91)
3) Gharar
“….dan
janganlah kamu mencurangi harta orang lain…” (QS.
Al-A’raf/7:85). “Sesungghuhnya Nabi S.A.W melarang daripada jual beli gharar
(spekulatif dan ketidakpastian)”. (riwayat muslim)
4) Zhulm
“Dan perangilah mereka itu sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memsuhi kamu),maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.”
(Al-Baqarah/2:193)
5) Tabdzir
“Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekan akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang
dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburkan-menghamburkan (hartamu)
secara boros, sesungguhnya pemborosan-pemborosan itu adalah saudara-saudara
syaian dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya”
(Al-Isra/17:26-27)
6) Risywah
“….dan janganlah kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim (dengan menyuapnya), supaya kamu dapat memakan sebagian
daripada harta benda orang lain itu secara batil, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah/2:188)
7) Maksiyat
“….Tetapi
Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam
hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan
tetapi Alllah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu
indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
kemaksiayatan.” (Al-Hujurat/49:7)
Berdasarkan
kaidah fiqih yang disepakati oleh banyak ulama, segala hal dalam bermuamalah
pada dasarnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya (al-ashlus fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa
an-yadulla daliilaan ‘alaa tahriimihaa).
b. Prinsip
dasar Tayib
Allah
Swt berfirman dalam surah Al-maidah/5:5 yang artinya: “…. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik (tayyibat)….”
Tayib memiliki pengertian yang mencangkup segala nilai-nilai kebaikan yang
menjadi nilai tambah dari hal-hal yang
halal dakam rangka pencampaian tujuan syariah (maqashidusy syariah) yaitu keamanan dan kesejahteraan bagi
masyarakat luas (mushlahah al-‘ammanah). Tayib meliputi dua aspek yaitu ihsan dan tawazun.
1) Ihsan
Ihsan adalah
melakukan atau memberikan yang terbaik dan menghindari perilaku yang merusak. “… dan berbuatlah yang terbaik (kepada orang
laian) sebagaimana Allah telah berbuat yang terbaik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash/28:77).
2) Tawazun
Tawazun adalah
neraca keseimbangan dalam arti makro yang mencangkup diantaranya keseimbangan
antara sepiritual dan material, eksplorasi dan konservasi, sektor finansial dan
sektor rill, risiko dan hasil. “dan
tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya, dan Allah
telah meninggikan langit dan dia meletakan neraca (keadilan). Supaya kamu
jangan melampaui batas tentang necara itu.” (Ar-Rahman/55:6-8)
2. Secara
operasional bisnis syariah mengacu pada dua asas. Asas pertama adalah ShiFAT dan perilaku nabi dalam
beraktivitas termasuk dalam berbisnis yaitu shidiq,
fathonah, tabligh dan amanah. Asas yang kedua adalah asas yang dipakai
dalam dunia usaha pada umumnya yaitu transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan. Kedua asas
operasional tersebut diperlukan untuk mencapai kesinambungan (sustainability) dengan memperhatikan
kepentingan para pemangku kepentingan
(stakeholder).
B.
Pedoman
Pokok Pelaksanaan
1.
Pedoman Pelaksanaan yang dicontohkan
Rasulullah Saw
Praktik
pelaksanaan bisnis yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, menggambarkan sifat
dan perilaku beliau, sebaimana yang disepakati oleh semua para ulama, yaitu shidiq, fathonah, tabligh dan amanah
atau yang disungkat ShiFAT (bahasa
Arab) yang berarti sifat. Keempat sifat ini memiliki kandungan pengertian
antara lain:
a.
Shiddiq berarti benar, yaitu senantiasa
melakukan kebenaran dan kejujuran dimanapun berada dan kepada siapapun.
Implikasinya dalam berbisnis adalah tegaknya kejujuran dan menghindari segala
bentuk penipuan, penggelapan dan perilaku dusta.
b.
Fathanah berarti cerdas, yitu mampu
berfikir secara jernih dan rasional serta mengambil keputusan dengan cepat dan
tepat. Dalam dunia bisnis sifat fathanah ini digunakan untuk mengidentifikasi
dan menetapkan hal-hal dan atau kegiatan yang halal, tayib, ikhsan dan tawazun.
c.
Amanah berarti dapat dipercaya, yaitu
menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Allah dan orang lain. Dalam bisnis,
pemberian kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban
dan akuntabilitas atas kegiatan-kegiatan bisnis.
d.
Tabligh berarti menyampaikan, yaitu
menyampaikan risalah dari Allah tentang kebenaran yang harus ditegakkan dimuka
bumi. Kebenaran risalah ini harus diteruskan olah omat islam dari waktu ke
waktu agar islam menjadi rahmat bagi alam semesta. Dalam dunia bisnis,
penympaian risalah kebenaran dapat diwujudkan secara sosialisai praktik-praktik
bisnis yang baik dan bersih, termasuk perilaku bisnis Rasulullah dan para
sahabtnya.
Keempat
sifat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya dan merupakan salah satu perwujudan dari iman dan takwa.
2. Pedoman
Pelaksanaan yang Berlaku Umum
Dari
keempat satuan Sifat nabi dan rasul dapat diteruskan asas GGBS yang
masih berjalan dengan asas GCG yang berlalu secara umum dalam dunia usaha yaitu
TARIK: Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Indepedensi serta
Kewajaran dan Kesetaraan (fairness).
a. Transparansi
Berdasarkan
prinsip syariah yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah/2:282: “… Dan transparankanlah (persaksikanlah)
jika kalian slaing bertransaksi…”, dan berdasarkan hadits yang menyatakan
“…barang siapa yang melakukan ghisy (menyembunyikan informasi yang diperlukan
dalam transaksi) bukan termasuk umat kami”, maka semua transaksi harus
dilakukan secara transparan.
Transparansi
(Transparancy) mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan
informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan.
Transparansi diperlukan agar pelaku bisnis syariah menjalankan bisnis secara
objektif dan sehat. Pelaku bisnis syariah harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundangan,
tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan yang sesuai dengan
ketentuan syariah.
b. Akuntabilitas
Akuntabilitas
merupakan asas penting dalam bisnis syariah sebagaimana tercermin dalam surat
al-Isra/17: 84 yang artinya “Katakanlah setiap entitas bekerja sesuai dengan
posisinya dan Tuhan kalian lebih mengetahui siapa yang paling benar jalannya
diantara kalian”. Dan dalam ayat 36 yang artinya “…Dan janganlah kamu berbuat
sesuatu tanpa pengetahuan atasnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban”. Tanggungjawab atas perbuatan
manusia dilakukan baik di dunia maupun di akhirat, yang semuanya direkam dalam
catatan yang akan dicermati nanti, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat AL-Isra/17:14 yang artinya: “ bacalah kitabmu(laporan pertanggung
jawaban-mu). Cukuplah kamu pada waktu itu mengevaluasi dirimu sendiri”.
Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur
kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Pelaku
bisnis syariah harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan
dan wajar. Untuk itu bisnis syariah harus dikelola secara benar, terukur dan
sesuai dengan kepentingan pelaku bisnis syariah dengan tetap memperhitungkan
pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya. Akuntabilitas merupakan
prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
c. Responsibilitas
Dalam
hubungan dengan asas responsibilitas (responsibility),
pelaku bisnis syariah harus mematuhi peraturan perundang-undangan dan ketentuan
bisnis syariah, serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nisa/4:59. “wahai orang-orang yang beriman, taatlah
kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada ulil amri diantara kamu….”. Dalam
ushul fiqih terdapat sebuah kaidah yang diturunkan dari sabda Rasulullah Saw, al-kharaj bidhdaman yang artinya bahwa
usaha adalah sebanding dengan hasil yang akan diperoleh, atau dapat pula
dimengerti sebagai resiko yang berbanding lurus dengan pulangan (return). dengan pertanggung jawaban ini
maka entitas bisnis syariah dapat terpelihara kesinambungannya dalam jangka
panjang dan mendapat pengakuan sebagai pelaku bisnis yang baik (good corporate citizen).
d. Independensi
Dalam
hubungan dengan asas independensi (independency), bisnis syariah harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing pihak tidak boleh saling mendominasi
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Independensi terkait dengan
konsistensi atau sikap istiqomah yaitu tetap bertegang teguh pada kebenaran
meskipun harus menghadapi resiko. Dalam surat fushshilat/ 41:30, Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan
Allah kepadamu”. Independensi merupakan karakter manusia yang bijak (ulul
al-bab) yang dalam al-Quran disebutkan sebanyak 16 kali, yang diantara
karakternya adalah “Mereka yang mampu menyerap informasi (mendengar perkataan)
dan mengambil keputusan (mengkuti) yang terbaik (sesuai dengan nuraninya tanpa
tekanan pihak manapun)”. (Az-Zumar/ 39:18).
e. Kewajaran
dan Kesetaraan
Kewajaran
dan kesataraan (fairness) mengandung unsure kesamaan perlakuan dan kesempatan.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah/ 5:8, yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap orang (golongan) lain menyebabkan kamu tidak berlaku adil, berlaku
adillah kamu karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah karena Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Fairness
atau kewajaran merupakan salah satu manifestasi adil dalam dunia bisnis. Setiap
keputusn bisnis, baik dalam skala individu maupun lembaga, hendaklah dilakukan
sesuai kewajaran dan kesetaraan sesuai dengan apa yang bisa berlaku, dan tidak
diputuskan berdasar suka atau tidak suka. Pada dasarnya, semua keputusan bisnis
akan mendapatkan hasil yang seimbang dengan apa yang dilakukan oleh setiap
entitas bisnis, baik di dunia maupun akhirat. Dalam melaksanakan kegiatannya,
pelaku bisnis syariah harus senantiasa memperhatikan kepentingan semua pemangku
kepentingan, berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
BAB
3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Semua
pihak yang terkait dengan bisnis syariah harus memastikan bahwa asas GGBS dijadikan
pijakan dasar bagi setiap aspek dan kegiatan usaha yang dilakukan, GGBS
didasarkan atas pijakan dasar spiritual dan pijakan dasar operasional.
Secara
spriritual, dalam rangka memperoleh keberkahan, bisnis syariah harus
berdasarkan daripada iman dan taqwa yang diwujudkan dalam bentuk komitmen pada prinsip
dasar yaitu halal dan tayib (baik). Prinsip dasar halal dalam bisnis dilakukan
dengan menghindari kegiatan bisnis yang dilarang, yaitu riba, maysir, gharar,
tabdzir, risywah, maksiat, dan zhulm. Sedangkan prinsip tayib meliputi dua
aspek yaitu ihsan dan tawazun.
Secara
operasional bisnis syariah mengacu pada dua asas. Asas pertama adalah ShiFAT (shidiq, amanah, tabligh,
fathanah) dan perilaku nabi. Asas yang kedua adalah asas yang dipakai dalam dunia
usaha pada umumnya yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.