Prinsip
Keseimbangan dalam Islam
Bila
kita pelajari Al Qur’an secara seksama, dapat kita simpulkan bahwa Wahyu Islami
yang diajarkan oleh Rosulullah Muhammad SAW menampilkan adanya suatu
keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi (akherat).
Rasulullah
bersabda : Yang paling baik dalam segala hal adalah yang dipertengahan.
Bila
kita terlalu berlebihan mengejar kesenangan duniawi, maka kita akan terperosok
menjadi manusia yang serakah, sebaiknya bila kita terlalu mengejar akhirat maka
kita akan bisa menjadi manusia apatis yang tidak peduli lagi kepada keadaan di
sekitar kita. Padahal menurut ajaran Islam iman dan amal saleh harus
seimbang dan tali silaturahmi harus tetap dijaga. Sebagai manusia kita
pun harus senantiasa mensyukuri karunia Allah yang tiada terbatas, tak bisa
terhitung lagi.
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ
الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah dengan apa yang
dianugerahkan Allah untuk kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu lupakan
bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakkan (
Al Qashash 28 : 77 )
Berjuanglah untuk duniamu
seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan persiapkanlah untuk akhiratmu
seolah-olah engkau akan mati besok ( Hadist ).
ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ
مِنَ النَّاسِ
Ditimpakan kepada mereka kehinaan
dimanapun mereka berada, kecuali bila mereka menjaga hubungan dengan Allah dan
hubungan dengan sesama manusia
(Ali
Imran 3 : 112)
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dia memberimu pendengaran, penglihatan
dan hati ( fuad ) agar kamu bersyukur
( An
Nahl 16 : 78 )
وَهُوَ
الَّذِي أَنْشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَا
تَشْكُرُونَ
Dia-lah yang telah menciptakan bagi kamu
sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati ( fuad ). Namun sedikit saja
kamu bersyukur ( Al Mu’minun 23 : 78 )
Dari
ayat-ayat diatas jelas bahwa qolbu untuk proses pembelajaran, sedangkan untuk
bersyukur kepada Allah, berkomunikasi dengan Allah, adalah fuad, hati yang
bersih. Dalam dada ada qolbu, dalam qolbu ada fuad … ( Hadits qudsi
)
Allah
menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, karena mempunyai
mata, telinga, hati dan ruh. Tuhan memberikan kebebasan kepada
manusia untuk memilih jalan kehidupannya masing-masing. Jalan kebaikan
atau jalan kejahatan, jalan terang ( Sifat Jamal ) atau jalan gelap ( Sifat
Jalal ). Sifat Jamal atau Sifat Jalal serta semua Sifat-Sifat Allah yang
berpasangan dan saling bertentangan itu berada dalam Ke-Esa-anNya, semuanya
berada dalam ketentuan kudrat dan irodat-Nya.
Sifat
baik dan sifat jahat yang saling bertentangan itu disebutnya nafs. Tanpa
nafs manusia tidak punya daya juang untuk mencapai cita-citanya. Nafsu
ini bisa baik namun lebih cenderung kepada kejahatan. Walaupun Allah
sudah memberikan peringatan, namun bagi manusia yang tidak bersyukur, dia
sering membangkang, karena nafsu jahatnya yang muncul, menghalalkan segala
cara.
Setiap
jalan yang ditempuh mempunyai konsekwensi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum
Allah. Misalnya manusia berbuat kejahatan, konsekwensinya adalah masuk penjara.
Mungkin kita berpendapat bahwa penjara adalah tempat yang buruk seperti neraka,
tapi walaupun demikian ternyata penjara merupakan Kawah Candradimuka, tempat
penggemblengan lahir bathin bagi mereka yang mau berpikir untuk kembali kepada
Allah. Oleh karena itu banyak orang yang mendapat Taufik dan Hidayah Allah di
dalam penjara. Itulah ketentuan hukum-hukum Allah Yang Maha Rahman dan
Maha Rahim, dibalik hukuman yang diberikan Allah, selalu ada hikmah bagi mereka
yang mau berpikir. Rahmat dan ampunan Allah jauh lebih besar dan lebih
mendahului dari pada kemurkaan-Nya.
مَنْ
كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Barang siapa yang menghendaki pahala di
dunia saja ( maka ia merugi ) karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat
dan Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat
( AN
NISAA 4 : 134 )
Perjalanan
hidup manusia bukan seperti garis lurus, tapi seperti pada saat kita Thawaf,
mulai dari satu titik, kembali ke titik semula. Kita berasal dari
Allah akan kembali kepada Kesucian Allah disertai Rahmat-NYA yang luar
biasa besarnya.
Kita
hidup di dunia sebagai tamu Allah yang hanya sekedar singgah. Kita harus
bisa menempatkan diri, mengerti tata krama, tidak semena-mena bahkan merusak
kelestarian alam. Kita harus mengikuti peraturan Allah jangan membuat
kerusakan serta membuat murka Allah Sebagai Pemilik Alam Semesta ini.
Hiduplah
di dunia ini sebagai musafir yang hanya sekedar singgah ( Hadist )
Keseimbangan
Ekonomi Dalam Islam
Keseluruhan aktifitas
ekonomi yang dikerjakan manusia cenderung didasari oleh berbagai kebutuhan yang
harus dipuaskan. Perkembangan zaman dan teknologi tidak dapat dipungkiri telah
menggeser pola pikir manusia dalam mengartikan hakekat hidup yang sebenarnya.
Ekonomi dunia telah menjurus pada sekuleritas
yanglebih menitikberatkan pada kepuasan dunia saja. Sistem-sistem
yang dibentuk cenderung mengikuti selera nafsu secara materil. Keuntungan
nominal menjadi satu-satunya indikator utama dalam berusaha. Penindasan
terhadap golongan atau individu yang lemah menjadi prinsip bisnis yang mudah
ditemui dalam sistem ekonomi konvensional.
Secara tegas Islam
menyatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang ditugaskan sebagai
khalifah di muka bumi. Hal ini mengandung arti bahwa manusia memiliki wewenang
untuk mengupayakan kebermanfaatan bumi dan segala isinya. Manusia diperbolehkan
untuk mengambil dan mengolah semua isi bumi, namun tetap harus berpedoman pada
nilai-nilai keseimbangan. Nilai-nilai keseimbangan yang dimaksud merujuk pada
konsep al-falah (kejayaan)
di dunia dan akhirat. Tidak ada pemisahan antara kehidupan dunia dengan
akhirat. Setiap aktifitas manusia di dunia secara mutlak diyakini akan
berdampak pada kehidupannya di akhirat kelak. Sehingga timbul upaya untuk
berjalan sesuai koridor yang telah diatur dalam ajaran agama. Hal ini tentu
saja jauh berbeda dengan sistem kapitalis atau sosialis yang hanya bertujuan
untuk kehidupan dunia saja.
Keseimbangan dalam
konsep kejayaan dunia dan akhirat hanya dapat dipenuhi jika keseluruhan
aktifitas yang dilakukan manusia bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kesejahteraan dan kemakmuran tidak dijadikan sebagai tujuan hidup, namun
ditujukan sebagai wasilah atau
perantara untuk mewujudkan perintah Allah SWT. Tujuan hidup yang hakiki
berpedoman nilai-nilai Islam. Kesemuanya untuk merealisasikan perintah Allah
SWT. QS. Al-An’aam ayat 162 menyatakan bahwa :
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.
Tidak ada tujuan lain, semua berujung pada ridho Allah SWT.
Dalam beraktivitas di dunia
kerja dan bisnis, islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada
pihak yang tidak disukai. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُونُواقَوَّامِينَلِلَّهِشُهَدَاءَبِالْقِسْطِۖوَلَايَجْرِمَنَّكُمْشَنَآنُقَوْمٍعَلَىٰأَلَّاتَعْدِلُواۚاعْدِلُواهُوَأَقْرَبُلِلتَّقْوَىٰۖوَاتَّقُوااللَّهَۚإِنَّاللَّهَخَبِيرٌبِمَاتَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,menjadi saksi yang adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum,mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa“
(Al-Maidah
:8)
Berlaku adil akan dekat dengan
taqwa, karena itu dalam perniagaan (tijarah), islam melarang untuk menipu
walupun hanya ‘sekedar ‘membawa sesuatu pada kondisi yang menimbulkan keraguan
sekalipun. Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran
dan permintaan.
Islam mengharuskan
penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dan bahkan berlaku adil
harus didahulukan dari berbuat kebjikan. Dalam perniagaan,persyaratan adil yang
paling mendasar adalah menentukan mutu (kwalitas) dan ukuran (kuantitas) pada
setiap takaran maupun tambangan. Allah berfirman:
وَأَوْفُواالْكَيْلَوَالْمِيزَانَبِالْقِسْطِ
“...maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil ”( Al-Anaam:152)
Beberapa dalil yang
menerangkan tentang anjuran melaksanakan keseimbangan ekonomi, diantaranya :
وَالَّذِينَإِذَاأَنْفَقُوالَمْيُسْرِفُواوَلَمْيَقْتُرُواوَكَانَبَيْنَذَٰلِكَقَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta,
mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, dan adalah keadaan itu
ditengah-tengah antara yang demikian.”
(Al-Furqan:67)
“ Dan tegakkanlah
timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca (keseimbangan)
itu”. (Ar-Rahman:9)
Konsep equilibrium juga
dapat dipahami bahwa keseimbangan kehidupan di dunia dan akhirat harus di usung
oleh seorang pebisnis muslim. Oleh karenanya, konsep keseimbangan berarti
menyerukan kepada para pengusaha muslim untuk bisa merealisasikan tindakan-tindakan dalam bisnis yang dapat
menempatkan dirinya dan orang lain dalam kesejahteraan duniawi dan keselamatan
akhirat.
Islam mengajarkan keseimbangan, begitu pula
dalam Ekonomi Islam. Ekonomi Islam adalah kegiatan ekonomi yang berdasarkan
hukum - hukum Islam. Inti dari Ekonomi Islam ini adalah keseimbangan antara
Sektor riel dan sektor moneter.
Setiap pertambahan pada sektor moneter harus
ada pertambahan pada sektor riel. seluruh akad - akad, pada akad tijari (yaitu
transaksi yang juga berorientasi pada keuntungan) pasti terletak pada
pertambahan sektor riel, seperti: Murabahah, Mudharabah, dan Musyarakah.
Murabahah yaitu jual beli, ada beberapa macam
murabahah yaitu Ba’i Naqdan (tunai), Ba’i Assalam yaitu jual beli yang dimana
pengiriman barang di berikan di kemudian hari, Ishtisna yaitu pemberian barang
yang dicicil lalu dibayar dikemudian hari, Ijaraoh atau sewa, dan Ijarah
Muntahiya Bi Tamlik yaitu akad sewa dan pada akhir periode diberikan opsi
apakah dilunasi atau tetap menjadi sewa.
Sebagaimana pada macam-macam akad tijarah,
pada macam - macam akad tabaru pun juga demikian. Setiap transaksi selalu
bertujuan meningkatkan sektor riel. Akad tabaru yaitu akad yang hanya
berorientasi pada amal kebajikan, seperti Zakat, Infak, Sedekah, Wakalah, dan
kafalah.
Krisis keuangan yang terjadi didunia selama
ini dikarenakan tidak seimbangnya sektor moneter dan sektor riel. Sektor moneter
terus malambung sedangkan sektor riel tertinggal jauh dibawahnya. Kita dapat
melihat bagaimana bila sebuah bank non syariah apabila memberikan pinjaman,
sudahlah pasti akan memberikan bunga berdasrkan pokoknya bukan berdasarkan
hasilnya. Setiap usaha pasti ada untung, ada rugi atau malah seimbang. Tidaklah
mungkin selalu untung atau laba.
Oleh karena itulah, pada sistem ekonomi non
syariah hanya berprinsip untung saja tidak mengenal kata rugi atau BEP (Break
Event Point). Setiap nasabah peminjam selalu dipaksa untuk untung sehingga
mereka pun bermain kembali pada sektor moneter bukan riel lagi.
Ekonomi Islam datang untuk kembali
menyeimbangkan antara sektor riel dan moneter sehingga inflasi dapat dicegah.
Inflasi terjadi karena jumlah uang beredar di sektor moneter terlalu
berlebihan. Uang itu ibarat darah pada perekonomian. Sebagaimana pada tubuh
manusia apabila darahnya hanya terkumpul pada bagian tertentu saja maka orang
tersebut dapat sakit bahkan mati, begitulah perekonomian.
Secara sistematis perangkat penyeimbang
perekonomian dalam Islam berupa:
- Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, sehingga mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya, disaat yang sama zakat tidak diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang di investasikan, Islam tidak mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini menyebabkan para pemlik harta berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada kemungkinan adanya kerugian hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi resesi dalam Islam dapat dihindari.
- Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) mengggantikan pranata bunga membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha, keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil.
- Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya Inflasi.
- Keadilan dalam disribusi pendapatan dan harta. Fakir miskin dan pihak yang tidak mampu di tingkatkan pola konsumsinya dengan mekanisme zakat, daya beli kaum dhu’afa meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja.
- Intervensi negara dalam roda perekonomian. Negara memiliki wewenang untuk intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat.
Keseimbangan Islam terbagi atas:
1. Kejujuran
(amanah)
Kata
al-amanah, yang secara etimologis berarti “jujur dan lurus”. Secara
terminologis syar’i, “sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada yang
berhak menerimanya”. Dengan demikian kejujuran (al-amanah) di sini ialah
suatu sifat dan sikap yang setia, tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan
sesuatu yang dipercayakan kepadanya, baik berupa harta benda, rahasia maupun
tugas kewajiban. Pelaksanaan amanat dengan baik dapat disebut ”al-amin”
yang berarti: yang dapat dipercaya, yang jujur, yang setia, yang aman. Dalam
konteks sekarang, salah satu bentuk penyalahgunaan amanat adalah perilaku KKN
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ketiganya sangat berpotensi mengabaikan prinsip
profesionalisme dan integritas moral.
2. Keadilan
(‘Adalah)
Adil
memiliki makna, meletakan sesuatu pada tempatnya; menempatkan secara
proporsional; perlakuan setara atau seimbang. Dalam al-Qur`an kata-kata adil
sering di kontradiktifkan dengan makna dzulm (dzalim) dan itsm
(dosa). Adapun makna keadilan disisi lain sering diartikan sebagai sikap yang selalu
menggunakan ukuran sama, bukan ukuran ganda. Dan sikap ini yang
membentuk seseorang untuk tidak berpihak pada salah satu yang berselisih.
Menurut Al-Ashfahani “adil”, dinyatakan sebagai memperlakukan orang lain
setara dengan perlakuan terhadap diri sendiri. Dimana ia berhak mengambil semua
yang menjadi haknya, dan atau memberi semua yang menjadi hak orang lain.
(Quraish Shihab, 2002). Sifat dan sikap adil ada dua macam. Adil yang
berhubungan dengan perseorangan dan adil yang behubungan dengan kemasyarakatan
dan pemerintahan.
3. Keseimbangan
(al-Wustho)
Konsep
keseimbangan menjadi konsep lanjutan yang memiliki benang merah dengan konsep
keadilan. Allah menggambarkan posisinya dengan kondisi dimana bila terjadi
ketimpangan dalam kehidupan berekonomi, maka hendaknya dikembalikan pada posisi
semula. Posisi yang tuju adalah keseimbangan, pertengahan, keadilan.
Beberapa landasan
yang mendukung prinsip ini diantaranya:
أَلاَّ
تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانَ {8} وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُوا
الْمِيزَانَ {9}
Artinya: “Supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. 55:8). Dan tegakkanlah
timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. 55:9).
4. Kebenaran
(al-Shidqah)
Kebenaran (al-Shidqah)
ialah berlaku benar, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
5. Tolong
Menolong (Ta’awun)
Prinsip-prinsip
dasar ekonomi Islam lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar pembangunan
masyarakat adalah mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya
masyarakat sejahtera lahir batin . Al-Qur’an mengajarkan agar manusia tolong
menolong (ta’awun) dalam kebajikan dan taqwa, jangan tolong menolong
dalam dosa dan pelanggaran:
……….وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا
عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ…..
“…..Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS.
al-Maidah/5:2).
6. Kebersamaan
dan Persamaan (Ukhuwwah)
Al-Qur’an mengajarkan
bahwa Allah menciptakan manusia dari keturunan yang sama:
يَآأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
“Hai
manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat/49:13).
7. Kebebasan
(Freewill)
Secara
umum makna kebebasan dalam ekonomi, dapat melahirkan dua pengertian yang luas,
yakni; kreatif dan kompetitif. Dengan kreatifitas, seseorang bisa mengeluarkan
ide-ide, bisa mengekplorasi dan mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan
ekonominya untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan dengan kemampuan kompetisi,
seseorang boleh berjuang mempertahankan, memperluas dan menambah lebih banyak
apa yang diinginkannya. Dalam ekonomi Islam, makna kebebasan adalah
memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya sesuai perintah syara’. Kebebasan ekonomi Islam adalah kebebasan
berakhlaq. Berakhlaq dalam berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi. Dengan
kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan produktifitas dalam ekonomi.
Dengan dasar ayat diatas juga, Islam menyarankan manusia untuk produktif.
Kegiatan produksi adalah bagian penting dalam perekonomian.
Bentuk keseimbangan dan porsi yang
harus dipertahankan di antara masyarakat dengan mengindahkan hak-hak setiap
manusia. Bagian yang menjadi hak setiap manusia dengan penuh kesadaran harus
diberikan kepadanya. Dalam hal ini, yang di tuntut ekonomi Islam adalah
keseimbangan dan porsi yang tepat bukan persamaan.
Oleh karena itu , konsep kesejahteraan dalam Islam yang di atas dikatakan sebagai upaya untuk menselaraskan kepentingan dunia dan akhirat merupakan ciri pokok tujuan ekonomi Islam yang sekaligus di sisi lain membedakan konsep kesejahteraan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme yang berorientasi pada materialisme individual dan sosialisme yang berorientasi pada materialisme kolektif.
Oleh karena itu , konsep kesejahteraan dalam Islam yang di atas dikatakan sebagai upaya untuk menselaraskan kepentingan dunia dan akhirat merupakan ciri pokok tujuan ekonomi Islam yang sekaligus di sisi lain membedakan konsep kesejahteraan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme yang berorientasi pada materialisme individual dan sosialisme yang berorientasi pada materialisme kolektif.
·
Mewujudkan
sistem distribusi kekayaan yang adil
Dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sudah menjadi ketentuan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda-beda. Namun demikian perbedaan tersebut tidaklah dibenarkan menjadi sebuah alat untuk mengekspliotasi kelompok lain. Dalam hal ini kehadiran ekonomi Islam bertujuan membangun mekanisme distribusi kekayaan yang adil ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Islam sangat melarang praktek penimbunan (ikhtikar) dan monopoli sumber daya alam di sekolompok masyarakat.
Konsep distribusi kekayaan yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam hal ini antara lain dengan cara :
Dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sudah menjadi ketentuan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda-beda. Namun demikian perbedaan tersebut tidaklah dibenarkan menjadi sebuah alat untuk mengekspliotasi kelompok lain. Dalam hal ini kehadiran ekonomi Islam bertujuan membangun mekanisme distribusi kekayaan yang adil ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Islam sangat melarang praktek penimbunan (ikhtikar) dan monopoli sumber daya alam di sekolompok masyarakat.
Konsep distribusi kekayaan yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam hal ini antara lain dengan cara :
·
Menciptakan
keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.
Keseimbangan ekonomi hanya akan dapat terwujud manakala kekayaan tidak berputar di sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan keseimbangan ekonomi, Islam memerintahkan sirkulasi kekayaan haruslah merata tidak boleh hanya berputar di sekelompok kecil masyarakat saja.
Kondisi demikian dijelaskan dalam al-Qur’an S. al-Hasyr: 7 yang berbunyi :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ
Keseimbangan ekonomi hanya akan dapat terwujud manakala kekayaan tidak berputar di sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan keseimbangan ekonomi, Islam memerintahkan sirkulasi kekayaan haruslah merata tidak boleh hanya berputar di sekelompok kecil masyarakat saja.
Kondisi demikian dijelaskan dalam al-Qur’an S. al-Hasyr: 7 yang berbunyi :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ
”supaya harta itu jangan hanya beredar
di antara orang kaya saja di antara kamu”
·
Larangan
Penimbunan Harta
Sistem
ekonomi Islam, melarang individu mengumpulkan harta secara berlebihan. Sebab,
dengan adanya pengumpulan harta secara berlebihan berakibat pada mandegnya roda
perekonomian. Oleh karena itu, penimbunan merupakan prilaku yang dilarang dalam
ajaran Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an S. at-Taubah:
34 yang berbunyi :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ
وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ
Artinya : “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritakanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”. (QS. At-Taubah : 34)
Artinya : “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritakanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”. (QS. At-Taubah : 34)
Sedangkan dalam rangka mencegah praktek monopolistik, ekonomi Islam menawarkan langkah prioritas yang perlu dilakukan oleh otoritas yang berwenang yang dalam hal ini adalah pemerintah.
Nilai
keadilan dapat dijumpai dalam al-Qur’an S. an-Nisa: 135 yang menyatakan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا
قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ
الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.”
Kesimpulan
Secara tegas Islam
menyatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang ditugaskan sebagai
khalifah di muka bumi. Hal ini mengandung arti bahwa manusia memiliki wewenang
untuk mengupayakan kebermanfaatan bumi dan segala isinya. Manusia diperbolehkan
untuk mengambil dan mengolah semua isi bumi, namun tetap harus berpedoman pada
nilai-nilai keseimbangan. Nilai-nilai keseimbangan yang dimaksud merujuk pada
konsep al-falah (kejayaan)
di dunia dan akhirat. Tidak ada pemisahan antara kehidupan dunia dengan akhirat.
Setiap aktifitas manusia di dunia secara mutlak diyakini akan berdampak pada
kehidupannya di akhirat kelak. Sehingga timbul upaya untuk berjalan sesuai
koridor yang telah diatur dalam ajaran agama. Hal ini tentu saja jauh berbeda
dengan sistem kapitalis atau sosialis yang hanya bertujuan untuk kehidupan
dunia saja.
Keseimbangan
dalam konsep kejayaan dunia dan akhirat hanya dapat dipenuhi jika keseluruhan
aktifitas yang dilakukan manusia bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kesejahteraan dan kemakmuran tidak dijadikan sebagai tujuan hidup, namun
ditujukan sebagai wasilah atau
perantara untuk mewujudkan perintah Allah SWT. Tujuan hidup yang hakiki
berpedoman nilai-nilai Islam. Kesemuanya untuk merealisasikan perintah Allah
SWT.