Sabtu, 08 Maret 2014

Prinsip Keseimbangan dalam Islam

Prinsip Keseimbangan dalam Islam

Bila kita pelajari Al Qur’an secara seksama, dapat kita simpulkan bahwa Wahyu Islami yang diajarkan oleh Rosulullah Muhammad SAW menampilkan adanya suatu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi (akherat).
Rasulullah bersabda : Yang paling baik dalam segala hal adalah yang dipertengahan.
Bila kita terlalu berlebihan mengejar kesenangan duniawi, maka kita akan terperosok menjadi manusia yang serakah, sebaiknya bila kita terlalu mengejar akhirat maka kita akan bisa menjadi manusia apatis yang tidak peduli lagi kepada keadaan di sekitar kita.  Padahal menurut ajaran Islam iman dan amal saleh harus seimbang dan tali silaturahmi harus tetap dijaga.  Sebagai manusia kita pun harus senantiasa mensyukuri karunia Allah yang tiada terbatas, tak bisa terhitung lagi.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah dengan apa yang dianugerahkan Allah untuk kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakkan ( Al Qashash 28 : 77 )

Berjuanglah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan persiapkanlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok ( Hadist ).

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
Ditimpakan kepada mereka kehinaan dimanapun mereka berada, kecuali bila mereka menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia
(Ali Imran 3 : 112)

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati ( fuad ) agar kamu bersyukur
( An Nahl 16 : 78 )

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Dia-lah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati ( fuad ).  Namun sedikit saja kamu bersyukur ( Al Mu’minun 23 : 78 )

Dari ayat-ayat diatas jelas bahwa qolbu untuk proses pembelajaran, sedangkan untuk bersyukur kepada Allah, berkomunikasi dengan Allah, adalah fuad, hati yang bersih.   Dalam dada ada qolbu, dalam qolbu ada fuad … ( Hadits qudsi )
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, karena mempunyai mata, telinga, hati dan ruh.   Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan kehidupannya masing-masing.  Jalan kebaikan atau jalan kejahatan, jalan terang ( Sifat Jamal ) atau jalan gelap ( Sifat Jalal ).  Sifat Jamal atau Sifat Jalal serta semua Sifat-Sifat Allah yang berpasangan dan saling bertentangan itu berada dalam Ke-Esa-anNya, semuanya berada dalam ketentuan kudrat dan irodat-Nya. 
Sifat baik dan sifat jahat yang saling bertentangan itu disebutnya nafs.  Tanpa nafs manusia tidak punya daya juang untuk mencapai cita-citanya.  Nafsu ini bisa baik namun lebih cenderung kepada kejahatan.  Walaupun Allah sudah memberikan peringatan, namun bagi manusia yang tidak bersyukur, dia sering membangkang, karena nafsu jahatnya yang muncul, menghalalkan segala cara.  
Setiap jalan yang ditempuh mempunyai konsekwensi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Allah. Misalnya manusia berbuat kejahatan, konsekwensinya adalah masuk penjara. Mungkin kita berpendapat bahwa penjara adalah tempat yang buruk seperti neraka, tapi walaupun demikian ternyata penjara merupakan Kawah Candradimuka, tempat penggemblengan lahir bathin bagi mereka yang mau berpikir untuk kembali kepada Allah. Oleh karena itu banyak orang yang mendapat Taufik dan Hidayah Allah di dalam penjara. Itulah ketentuan hukum-hukum Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim, dibalik hukuman yang diberikan Allah, selalu ada hikmah bagi mereka yang mau berpikir.  Rahmat dan ampunan Allah jauh lebih besar dan lebih mendahului dari pada kemurkaan-Nya.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia saja ( maka ia merugi ) karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat dan Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat
( AN NISAA 4 : 134 )

Perjalanan hidup manusia bukan seperti garis lurus, tapi seperti pada saat kita Thawaf, mulai dari satu titik, kembali ke titik semula.  Kita berasal dari Allah  akan kembali kepada Kesucian Allah disertai Rahmat-NYA yang luar biasa besarnya.
Kita hidup di dunia sebagai tamu Allah yang hanya sekedar singgah.  Kita harus bisa menempatkan diri, mengerti tata krama, tidak semena-mena bahkan merusak kelestarian alam.  Kita harus mengikuti peraturan Allah jangan membuat kerusakan serta membuat murka Allah Sebagai Pemilik Alam Semesta ini.
Hiduplah di dunia ini sebagai musafir yang hanya sekedar singgah ( Hadist )

Keseimbangan Ekonomi Dalam Islam

Keseluruhan aktifitas ekonomi yang dikerjakan manusia cenderung didasari oleh berbagai kebutuhan yang harus dipuaskan. Perkembangan zaman dan teknologi tidak dapat dipungkiri telah menggeser pola pikir manusia dalam mengartikan hakekat hidup yang sebenarnya. Ekonomi dunia telah menjurus pada sekuleritas yanglebih menitikberatkan pada kepuasan dunia saja. Sistem-sistem yang dibentuk cenderung mengikuti selera nafsu secara materil. Keuntungan nominal menjadi satu-satunya indikator utama dalam berusaha. Penindasan terhadap golongan atau individu yang lemah menjadi prinsip bisnis yang mudah ditemui dalam sistem ekonomi konvensional.
Secara tegas Islam menyatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini mengandung arti bahwa manusia memiliki wewenang untuk mengupayakan kebermanfaatan bumi dan segala isinya. Manusia diperbolehkan untuk mengambil dan mengolah semua isi bumi, namun tetap harus berpedoman pada nilai-nilai keseimbangan. Nilai-nilai keseimbangan yang dimaksud merujuk pada konsep al-falah (kejayaan) di dunia dan akhirat. Tidak ada pemisahan antara kehidupan dunia dengan akhirat. Setiap aktifitas manusia di dunia secara mutlak diyakini akan berdampak pada kehidupannya di akhirat kelak. Sehingga timbul upaya untuk berjalan sesuai koridor yang telah diatur dalam ajaran agama. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan sistem kapitalis atau sosialis yang hanya bertujuan untuk kehidupan dunia saja.
Keseimbangan dalam konsep kejayaan dunia dan akhirat hanya dapat dipenuhi jika keseluruhan aktifitas yang dilakukan manusia bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Kesejahteraan dan kemakmuran tidak dijadikan sebagai tujuan hidup, namun ditujukan sebagai wasilah atau perantara untuk mewujudkan perintah Allah SWT. Tujuan hidup yang hakiki berpedoman nilai-nilai Islam. Kesemuanya untuk merealisasikan perintah Allah SWT. QS. Al-An’aam ayat 162 menyatakan bahwa :

Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Tidak ada tujuan lain, semua berujung pada ridho Allah SWT.

Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُونُواقَوَّامِينَلِلَّهِشُهَدَاءَبِالْقِسْطِۖوَلَايَجْرِمَنَّكُمْشَنَآنُقَوْمٍعَلَىٰأَلَّاتَعْدِلُواۚاعْدِلُواهُوَأَقْرَبُلِلتَّقْوَىٰۖوَاتَّقُوااللَّهَۚإِنَّاللَّهَخَبِيرٌبِمَاتَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum,mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa“
(Al-Maidah :8)

Berlaku adil akan dekat dengan taqwa, karena itu dalam perniagaan (tijarah), islam melarang untuk menipu walupun hanya ‘sekedar ‘membawa sesuatu pada kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran dan permintaan.
Islam mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dan bahkan berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebjikan. Dalam perniagaan,persyaratan adil yang paling mendasar adalah menentukan mutu (kwalitas) dan ukuran (kuantitas) pada setiap takaran maupun tambangan. Allah berfirman:

وَأَوْفُواالْكَيْلَوَالْمِيزَانَبِالْقِسْطِ
“...maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil ”( Al-Anaam:152)

Beberapa dalil yang menerangkan tentang anjuran melaksanakan keseimbangan ekonomi, diantaranya :

وَالَّذِينَإِذَاأَنْفَقُوالَمْيُسْرِفُواوَلَمْيَقْتُرُواوَكَانَبَيْنَذَٰلِكَقَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, dan adalah keadaan itu ditengah-tengah antara yang demikian.”
(Al-Furqan:67)

“ Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca (keseimbangan) itu”. (Ar-Rahman:9)

Konsep equilibrium juga dapat dipahami bahwa keseimbangan kehidupan di dunia dan akhirat harus di usung oleh seorang pebisnis muslim. Oleh karenanya, konsep keseimbangan berarti menyerukan kepada para pengusaha muslim untuk bisa merealisasikan  tindakan-tindakan dalam bisnis yang dapat menempatkan dirinya dan orang lain dalam kesejahteraan duniawi dan keselamatan akhirat.
Islam mengajarkan keseimbangan, begitu pula dalam Ekonomi Islam. Ekonomi Islam adalah kegiatan ekonomi yang berdasarkan hukum - hukum Islam. Inti dari Ekonomi Islam ini adalah keseimbangan antara Sektor riel dan sektor moneter.
Setiap pertambahan pada sektor moneter harus ada pertambahan pada sektor riel. seluruh akad - akad, pada akad tijari (yaitu transaksi yang juga berorientasi pada keuntungan) pasti terletak pada pertambahan sektor riel, seperti: Murabahah, Mudharabah, dan Musyarakah.
Murabahah yaitu jual beli, ada beberapa macam murabahah yaitu Ba’i Naqdan (tunai), Ba’i Assalam yaitu jual beli yang dimana pengiriman barang di berikan di kemudian hari, Ishtisna yaitu pemberian barang yang dicicil lalu dibayar dikemudian hari, Ijaraoh atau sewa, dan Ijarah Muntahiya Bi Tamlik yaitu akad sewa dan pada akhir periode diberikan opsi apakah dilunasi atau tetap menjadi sewa.
Sebagaimana pada macam-macam akad tijarah, pada macam - macam akad tabaru pun juga demikian. Setiap transaksi selalu bertujuan meningkatkan sektor riel. Akad tabaru yaitu akad yang hanya berorientasi pada amal kebajikan, seperti Zakat, Infak, Sedekah, Wakalah, dan kafalah.
Krisis keuangan yang terjadi didunia selama ini dikarenakan tidak seimbangnya sektor moneter dan sektor riel. Sektor moneter terus malambung sedangkan sektor riel tertinggal jauh dibawahnya. Kita dapat melihat bagaimana bila sebuah bank non syariah apabila memberikan pinjaman, sudahlah pasti akan memberikan bunga berdasrkan pokoknya bukan berdasarkan hasilnya. Setiap usaha pasti ada untung, ada rugi atau malah seimbang. Tidaklah mungkin selalu untung atau laba.
Oleh karena itulah, pada sistem ekonomi non syariah hanya berprinsip untung saja tidak mengenal kata rugi atau BEP (Break Event Point). Setiap nasabah peminjam selalu dipaksa untuk untung sehingga mereka pun bermain kembali pada sektor moneter bukan riel lagi.
Ekonomi Islam datang untuk kembali menyeimbangkan antara sektor riel dan moneter sehingga inflasi dapat dicegah. Inflasi terjadi karena jumlah uang beredar di sektor moneter terlalu berlebihan. Uang itu ibarat darah pada perekonomian. Sebagaimana pada tubuh manusia apabila darahnya hanya terkumpul pada bagian tertentu saja maka orang tersebut dapat sakit bahkan mati, begitulah perekonomian.
Secara sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa:
  1. Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, sehingga mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya, disaat yang sama zakat tidak diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang di investasikan, Islam tidak mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini menyebabkan para pemlik harta berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada kemungkinan adanya kerugian hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi resesi dalam Islam dapat dihindari.
  2. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) mengggantikan pranata bunga membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha, keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil.
  3. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya Inflasi.
  4. Keadilan dalam disribusi pendapatan dan harta. Fakir miskin dan pihak yang tidak mampu di tingkatkan pola konsumsinya dengan mekanisme zakat, daya beli kaum dhu’afa meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja.
  5. Intervensi negara dalam roda perekonomian. Negara memiliki wewenang untuk intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat.

Keseimbangan Islam terbagi atas:
1.     Kejujuran (amanah)
Kata al-amanah, yang secara etimologis berarti “jujur dan lurus”. Secara terminologis syar’i, “sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya”. Dengan demikian kejujuran (al-amanah) di sini ialah suatu sifat dan sikap yang setia, tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, baik berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban. Pelaksanaan amanat dengan baik dapat disebut ”al-amin” yang berarti: yang dapat dipercaya, yang jujur, yang setia, yang aman. Dalam konteks sekarang, salah satu bentuk penyalahgunaan amanat adalah perilaku KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ketiganya sangat berpotensi mengabaikan prinsip profesionalisme dan integritas moral.
2.     Keadilan (‘Adalah)
Adil memiliki makna, meletakan sesuatu pada tempatnya; menempatkan secara proporsional; perlakuan setara atau seimbang. Dalam al-Qur`an kata-kata adil sering di kontradiktifkan dengan makna dzulm (dzalim) dan itsm (dosa). Adapun makna keadilan disisi lain sering diartikan sebagai sikap yang selalu menggunakan ukuran sama, bukan ukuran ganda. Dan sikap ini yang membentuk seseorang untuk tidak berpihak pada salah satu yang berselisih. Menurut Al-Ashfahani “adil”, dinyatakan sebagai memperlakukan orang lain setara dengan perlakuan terhadap diri sendiri. Dimana ia berhak mengambil semua yang menjadi haknya, dan atau memberi semua yang menjadi hak orang lain. (Quraish Shihab, 2002). Sifat dan sikap adil ada dua macam. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang behubungan dengan kemasyarakatan dan pemerintahan.
3.     Keseimbangan (al-Wustho)
Konsep keseimbangan menjadi konsep lanjutan yang memiliki benang merah dengan konsep keadilan. Allah menggambarkan posisinya dengan kondisi dimana bila terjadi ketimpangan dalam kehidupan berekonomi, maka hendaknya dikembalikan pada posisi semula. Posisi yang tuju adalah keseimbangan, pertengahan, keadilan.
Beberapa landasan yang mendukung prinsip ini diantaranya:
أَلاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانَ {8} وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُوا الْمِيزَانَ {9}
Artinya: “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. 55:8). Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. 55:9).
4.     Kebenaran (al-Shidqah)
Kebenaran (al-Shidqah) ialah berlaku benar, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
5.     Tolong Menolong (Ta’awun)
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar pembangunan masyarakat adalah mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya masyarakat sejahtera lahir batin . Al-Qur’an mengajarkan agar manusia tolong menolong (ta’awun) dalam kebajikan dan taqwa, jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran:
……….وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ…..
“…..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS. al-Maidah/5:2).
6.     Kebersamaan dan Persamaan (Ukhuwwah)
Al-Qur’an mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari keturunan yang sama:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat/49:13).
7.     Kebebasan (Freewill)
Secara umum makna kebebasan dalam ekonomi, dapat melahirkan dua pengertian yang luas, yakni; kreatif dan kompetitif. Dengan kreatifitas, seseorang bisa mengeluarkan ide-ide, bisa mengekplorasi dan mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan ekonominya untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan dengan kemampuan kompetisi, seseorang boleh berjuang mempertahankan, memperluas dan menambah lebih banyak apa yang diinginkannya. Dalam ekonomi Islam, makna kebebasan adalah memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya sesuai perintah syara’. Kebebasan ekonomi Islam adalah kebebasan berakhlaq. Berakhlaq dalam berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi. Dengan kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan produktifitas dalam ekonomi. Dengan dasar ayat diatas juga, Islam menyarankan manusia untuk produktif. Kegiatan produksi adalah bagian penting dalam perekonomian.
Bentuk keseimbangan dan porsi yang harus dipertahankan di antara masyarakat dengan mengindahkan hak-hak setiap manusia. Bagian yang menjadi hak setiap manusia dengan penuh kesadaran harus diberikan kepadanya. Dalam hal ini, yang di tuntut ekonomi Islam adalah keseimbangan dan porsi yang tepat bukan persamaan.
Oleh karena itu , konsep kesejahteraan dalam Islam yang di atas dikatakan sebagai upaya untuk menselaraskan kepentingan dunia dan akhirat merupakan ciri pokok tujuan ekonomi Islam yang sekaligus di sisi lain membedakan konsep kesejahteraan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme yang berorientasi pada materialisme individual dan sosialisme yang berorientasi pada materialisme kolektif.
·         Mewujudkan sistem distribusi kekayaan yang adil
Dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sudah menjadi ketentuan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda-beda. Namun demikian perbedaan tersebut tidaklah dibenarkan menjadi sebuah alat untuk mengekspliotasi kelompok lain. Dalam hal ini kehadiran ekonomi Islam bertujuan membangun mekanisme distribusi kekayaan yang adil ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Islam sangat melarang praktek penimbunan (ikhtikar) dan monopoli sumber daya alam di sekolompok masyarakat.
Konsep distribusi kekayaan yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam hal ini antara lain dengan cara :

·         Menciptakan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.
Keseimbangan ekonomi hanya akan dapat terwujud manakala kekayaan tidak berputar di sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan keseimbangan ekonomi, Islam memerintahkan sirkulasi kekayaan haruslah merata tidak boleh hanya berputar di sekelompok kecil masyarakat saja.
Kondisi demikian dijelaskan dalam al-Qur’an S. al-Hasyr: 7 yang berbunyi :
                                                  كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ
”supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang kaya saja di antara kamu”
·         Larangan Penimbunan Harta
Sistem ekonomi Islam, melarang individu mengumpulkan harta secara berlebihan. Sebab, dengan adanya pengumpulan harta secara berlebihan berakibat pada mandegnya roda perekonomian. Oleh karena itu, penimbunan merupakan prilaku yang dilarang dalam ajaran Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an S. at-Taubah: 34 yang berbunyi :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya : “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritakanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”. (QS. At-Taubah : 34)

Sedangkan dalam rangka mencegah praktek monopolistik, ekonomi Islam menawarkan langkah prioritas yang perlu dilakukan oleh otoritas yang berwenang yang dalam hal ini adalah pemerintah.
Nilai keadilan dapat dijumpai dalam al-Qur’an S. an-Nisa: 135 yang menyatakan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.”










Kesimpulan

Secara tegas Islam menyatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini mengandung arti bahwa manusia memiliki wewenang untuk mengupayakan kebermanfaatan bumi dan segala isinya. Manusia diperbolehkan untuk mengambil dan mengolah semua isi bumi, namun tetap harus berpedoman pada nilai-nilai keseimbangan. Nilai-nilai keseimbangan yang dimaksud merujuk pada konsep al-falah (kejayaan) di dunia dan akhirat. Tidak ada pemisahan antara kehidupan dunia dengan akhirat. Setiap aktifitas manusia di dunia secara mutlak diyakini akan berdampak pada kehidupannya di akhirat kelak. Sehingga timbul upaya untuk berjalan sesuai koridor yang telah diatur dalam ajaran agama. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan sistem kapitalis atau sosialis yang hanya bertujuan untuk kehidupan dunia saja.
Keseimbangan dalam konsep kejayaan dunia dan akhirat hanya dapat dipenuhi jika keseluruhan aktifitas yang dilakukan manusia bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Kesejahteraan dan kemakmuran tidak dijadikan sebagai tujuan hidup, namun ditujukan sebagai wasilah atau perantara untuk mewujudkan perintah Allah SWT. Tujuan hidup yang hakiki berpedoman nilai-nilai Islam. Kesemuanya untuk merealisasikan perintah Allah SWT.