KATA PENGANTAR
Puji syukur
kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena tuntunan, rahmat, dan
karunia-Nyalah kita dapat melanjutkan kehidupan kita terutama kita tetap dapat
menjalani aktivitas kita sehari-hari sebagai seorang mahasiswa, dan oleh karena
perkenalannya pula penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Kebijakan
Fiskal dalam Ekonomi Islam, sebagai bentuk tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia yang dibawakan oleh Dr. Suhenda Wiranata,ME
Dalam menyusun
makalah ini, penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan yang
terbaik sesuai kemampuan penulis. Harapannya, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama dalam menyusun
makalah selanjutnya yang dapat digunakan sebagai referensi.
Akhir kata
pengantar ini penulis mengucapakan terimakasih kepada Dr. Suhenda
Wiranata, yang telah membimbing kami dalam proses belajar-mengajar,
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, dan
jika ada kritik dan saran yang bersifat membangun penulis akan menerimanya
sebagai bahan acuan mengoreksi diri dan kedepannya dapat menyajikan yang lebih
baik lagi dari makalah ini.
Penulis
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar Isi ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah.............................................................................................. 1
1.3 Tujuan
Penulisan................................................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................................ 3
2.1
Pemerintahan Orde Lama ................................................................................ 3
2.2
Pemerintahan Orde Baru ................................................................................ 5
2.3 Pemerintahan
Transisi ...................................................................................... 9
2.4 Pemerintahan Reformasi
Hingga Kabinet SBY .............................................. 13
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun
demikian, tidak berarti dalam praktiknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan
bisa emberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu berbagai
macam cara dilakukan pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan itu untuk tetap
menjaga kelangsungan perekonomian Indonesia salah satunya dengan mencoba
memperbaharui sistem perekonomian agar mampu mewujudkan tujuan bernegara sesuai
alinea keempat Pembukaan UUD 1945[1].
Sejarah
menguraikan rangkaian-rangkaian peristiwa dari waktu ke waktu, sehingga
tergambar dengan jelas perubahan-perubahan yang terjadi dalam satu kurun waktu.
Perubahan-perubahan tersebut menjadi pedoman bagi generasi mendatang untuk
belajar dari sejarah. Apakah setelah sekian tahun dilakukan pembangunan
ekonomi, keadaan ekonomi sekarang lebih maju atau lebih mundur. Hal ini perlu
kita nilai berdasarkan tolok ukur atau kriteria kemajuan ekonomi[2].
Dalam makalah ini
diuraikan tentang keadaan perekonomian pada era Orde Lama, Orde Baru, masa
Transisi dan era Reformasi baik penjelasan mengenai kelebihan dan kelemahan
sistem yang digunakan, gejolak dan kontroversi dari masyarakat hingga krisis
ekonomi tahun nasional 1997-1998 dan
Internasional yang sangat berpengaruh pada Indonesia saat itu.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah perbandingan
perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde baru, apakah
kelebihan dan kelemahannya?
2. Bagaimanakah
sejarah perekonomian Indonesia pada masa Transisi?
3.
Bagaimanakah sejarah
perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan setelah Reformasi hingga Kabinet
SBY periode 2004-2009?
1.1 Tujuan
Penulisan
1. Memahami
perbandingan perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde
baru serta kelebihan dan kelemahannya.
2. Mengetahui
sejarah perekonomian Indonesia pada masa Transisi.
3. Mengetahui
sejarah perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan setelah Reformasi hingga
Kabinet SBY periode 2004-2009.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pemerintahan Orde Lama
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun
demikian tidak berarti dalam praktiknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan
bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Hingga menjelang
akhir 1990-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda,
yaitu pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui
secara resmi Kemerdekaan Indonesia,[3]
selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 Indonesia dilanda gejolak
politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti
di Sumatera dan Sulawesi, untuk membiayai dua peperangan, yaitu merebut Irian
Barat dan pertikaian dengan Malaysia dan Inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk
membiayai penumpasan sejumlah pemberontakan di beberapa daerah di dalam negeri
(Tambunan, 2006b).
Akibatnya, selama pemerintahan Orde Lama,
keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami
pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama dekade 1950-an,
dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau
bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966 laju pertumbuhan
ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan
0,6%.[4]
Selain
laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, dari tahun ke
tahun defisit saldo neraca pembayaran (BoP) dan defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) terus membesar.
Selain
itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor
industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan
kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun non-fisik
seperti pendanaan dari bank. Rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya
permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat, mengakibatkan
tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir
periode Orde Lama, Hal ini didasarkan
data yang dihimpun oleh Arndt (1994).
Dengan
demikian dapat disimpulkan, bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama
pemerintahan Orde Lama (terutama) disebabkan oleh hancurnya infrastruktur
ekonomi, fisik, maupun non-fisik, selama pendudukan Jepang,[5]
Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri
(termasuk sejumlah pemberontakan di daerah) ditambah lagi dengan manajemen
ekonomi makro yang sangat buruk selama rezim tersebut (Tambunan 2006b).[6]
Keadaan ini mempersulit untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Kebijakan
ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter
melalui devaluasi mata uang nasional, yang pada saat itu masih gulden dan
pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan
Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih
dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa
Kabinet Natsir (kabinet pertama dalam NKRI), untuk pertama kalinya dirumuskan
suatu perencanaan pembangunan ekonomi yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian
(RUP). RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya merumuskan rencana
prmbangunan ekonomi 5 tahun (yang pada
masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman,
kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain: nasionalisasi De
Javansche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs
berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk
memulihkan perekonomian Indonesia saat itu di antaranya: untuk pertama kali
memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam keuangan pemerintah (APBN),
memperketat impor, melakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui
modernisasi dan pengurangan jumlah personil, dan penghematan pengeluaran
pemerintah. Pada masa Kabinet Ali I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan
dalam bidang ekonomi, walaupun kurang berhasil, yaitu pembatasan impor dan
kebijakan uang kertas selama Kabinet Burhanudin, tindakan-tindakan ekonomi
penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor,
kebijakan uang kertas untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan
Program Benteng,[7]
mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke
Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan
pembatalan (secara sepihak). Persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha
untuk menghilangkan sistem ekonomi kolonial atau menghapuskan dominasi
perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia (Tambunan 2006b).
Dilihat
dari aspek politiknya, selama periode Orde Lama indonesia pernah mengalami
sistem politik yang sangat demokrasi, yaitu pada periode 1950-1959, sebelum
diganti dengan periode demokrasi terpimpin.[8]
Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan, bahwa sistem politik demokrasi
tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional.
Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa,
sering terjadi konflik antarpartai politik.
Seperti
yang telah diuraikan di atas, pada masa politik demokrasi itu (demokrasi
parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap kabinet hanya 1
tahun saja. Waktu yang sangat pendek ini disertai keributan internal di dalam
kabinet tidak memberi kesempatan dan waktu yang tenang bagi pemerintah yang
berkuasa untuk memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada pada saat
itu, apalagi untuk menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya
(Feith, 1964).
Selama
periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih merupakan peninggalan zaman
kolonialisasi. Sektor formal/modern seperti pertambangan, distribusi,
transportasi, bank, dan pertanian komersil, yang memiliki kontribusi lebih
besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau PDB yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan
asing yang kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya, kegiatan-kegiatan
ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relatif lebih padat
kapital, dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha
pribumi dan pengusha-pengusaha asing yang berlokasi di kota-kota besar seperti
Jakarta dan Surabaya.
Boeke
(1954) menyebutkan istilah struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas
sebagai dual societis, yaitu slaah
satu karakteristik utama dari negara-negara berkembang (NB) yang merupakan
warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini dapat
terjadi, karna biasanya pada masa penjajahan, pemerintah yang berkuasa
menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat
langsung, seperti mengeluarkan peraturan-peraturan atau undang-undang, maupun
yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat
perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara
penduduk asli dan orang-orang non-pribumi/non-lokal (Tambunan 2006b).[9]
Keadaan
ekonomi Indonesia setelah nasionalisasi lebih buruk dibandingkan semasa
penjajahan Belanda. Ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi
pada dekade 1950-an.[10]
Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik, dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama
karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi
yang juga rendah, serta tingkat efisiensi yang tinggi di sektor pertanian
(termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil (Alien dan Donnithorne,
1957).
Buruknya
perekonomian Indonesia juga dikarenakan keterbatasan akan faktor-faktor
produksi, seperti kewirausahaan dan manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan
pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun
infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan
pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik.
Menurut pengamatan Higgins (1957 a,b), sejak kabinet pertama dibentuk bertujuan
utntuk stabilisasi da pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unifikasi, dan
rekonstruksi tapi tidak pernah
terlaksana dengan baik.
Buruknya
kondisi perekonomian bisa di baca di buku karya Radius Prawiro berjudul
“Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi”, yang dibahas oleh Gero (2010). Buku
ini berisi tentang pengalaman pribadi Bapak Radius sewaktu menjabat sebagai
gubernur Bank Indonesia (waktu itu disebut Bank Sentral) untuk periode
1966-1973. Di dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa inflasi pada tahun 1966 mencapai
650%, rupiah tersebut dicetak, sementara produksi berbagai produk terus
merosot. Radius menulis, seperti yang bisa dikutip dari Gero (2010:21), kebijakan “berdikari” alias berdiri di atas
kaki sendiri yang dikampanyekan Presiden Soekarno membuat semua impor produk
pangan dan barang distop. Impor beras dilarang pada Agustus 1964, membuat
kondisi persediaan pangan nasional yang sudah sulit semakin pelik. Cadngan
devisa dan emas terus menipis dari 408,9 juta dolar AS (1960-1965) menjadi
minus 4,5 juta dolar AS… Pendapatan per kapita dari 107 juta rakyat Indonesia,
saat itu hanya 60 dolar AS. Kurs rupiah merosot dari Rp 186,67 per dolar AS
(tahun 1961) menjadi Rp 14.083 per dolar AS (tahun 1965). Defisit anggaran di
atas 140 persen (halaman 21).
Pada
akhir September 1965 ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya
dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak
peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di
dalam negeri, yang selanjutnya juga merubah sistem ekonomi yang dianut
Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu dari pemikiran-pemikiran sosialis ke
semikapitalis (kalau tidak dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya).
Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-undang 1945 pasal 33 menganut
suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi
berdasarkan ideologi Pancasila. Akan tetapi, dalam praktik sehari-hari pada
masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini pola perekonomian nasional
cenderung memiliki sistem kapitalis seperti di Amerika Serikat (AS) atau
negara-negara industri maju lainnya, yang karena pelaksanannya tidak baik
mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa saat ini
semakin besar, terutama setelah krisis ekonomi (Tambunan 2006b).
2.2
Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya
sejak bulan Maret 1966, Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda
dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah
lebih ditunjukkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan
ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerinthan Orde Baru menjalin kembali
hubungan dengan pihak Barat, dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia
juga kembali menjadi anggota PBB, dan lembaga-lembaga dunia lainnya seperti
Bank Dunia dan IMF (Tambunan 2006b).
Sebelum
rencana pembangunan lewat Repelita di mulai, terlebih dahulu pemerintah
melakukan pemulihan stabilitas ekonomi sosial dan politik serta rehabilitas
ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk
menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan
menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor, yang sempat mengalami
stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan
penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) secara bertahap dengan
target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara Barat. Jelang akhir
tahun 1960-an, atas kerjasama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB dibentuk suatu
kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government
Group on Indonesia (IGGI) dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di
Indonesia (Tambunan 2006b).
Tujuan jangka panjang dari pembangunan
ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru, adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada
saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk
menaggulangi masalah-masalah ekonomi seperti kesempatan kerja dan defisit
neraca pembayaran.[11]
Dengan kepercayaan yang penuh, bahwa akan ada efek “cucuran ke bawah”,[12]
pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu
yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu
yang tidak panjang dan hanya di pulau Jawa, karena pada saat itu
fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relatif lebih baik
dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Dengan sumber
dana yang terbatas pada saat itu, dirasa sangat sulit untuk memperhatikan
pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan (Tambunan 2006b).
Sebelum
pembangunan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yakni tinggal landas mengikuti
pemikiran Rostow dalam “tahapan dari pertumbuhannya”, selain stabilisasi,
rehabilisasi dan pembangunan yang menyeluruh pada tahap dasar, tujuan utama
daripada pelaksanaan Repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi
swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Hal ini dianggap sangat penting,
mengingat penduduk Indonesia sangat besar dengan pertumbuhan rata-rata per tahun
pada saat itu sekitar 2,5% dan stabilitas politik juga sangat tergantung pada
kemampuan pemerintah menyediakan makanan pokok bagi masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pemerintah melakukan program penghijauan (revolusi hijau) di
sektor pertanian. Dengan dimulainya program penghijauan tersebut, sektor
pertanian nasional memasuki era modernisasi dengan penerapan teknologi baru,
khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam
(Tambunan 2006b).
Pada bulan April 1969, Repelita I dimulai
dan dampaknya juga dari Repelita-Repelita berikutnya selama Orde Baru terhadap
perekonomian Indonesia yang cukup mengagumkan, terutama di lihat pada tingkat
makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan
rata-rata per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama Orde
Lama, dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi
dari kelompok NB.[13]
Pada awal Repelita I PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun rupiah pada harga
berlaku atau 4,8 triliun rupiah pada harga konstan, dan pada tahun 1990 menjadi
188,5 triliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga
konstan. Selama periode 1969-1990 laju pertumbuhan PDB pada harga konstan
rata-rata per tahun di atas 7%.[14]
Keberhasilan pembangunan ekonomi ekonomi
di Indonesia pada zaman Soeharto, tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet
yang dipimpin oleh Presiden Soeharto jauh lebih baik/solid dibanding pada masa Orde Lama dalam menyusun rencana,
strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi,[15]
tetapi juga berkat tiga hal: penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak,
terutama pada periode oil boom
pertama pada tahun 1973-1974,[16]
pinjaman luar negeri, dan PMA yang (khususnya) sejak dekade 1980-an perannya di
dalam pembangunan ekonomi Indonesia meningkat tajam. Dapat dikatakan, bahwa
kebijakan Soeharto yang mengutamakan kebijakan stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi, yang didsarkan pada sistem ekonomi liberal dan stabilitas politik yang
pro-Barat, telah membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek pembangunan
ekonomi Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan terhadap banyak NB lainnya
(Tambunan 2006b).
Sebenarnya,
pemerintah sadar betul akan maslaah ini. Bahkan, paradigma pembangunan ekonomi
Indonesia pada era Orde Baru telah diwadahi dengan baik dalam konsep politik “Trilogi Pembangunan” (tiga prasyarat
yang terkait erat secara saling memperkuat dan saling mendukung), yaitu
stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan pembangunan.
Sebagai
suatu rangkuman, sejak masa Orde lama hingga berakhirnya masa Orde Baru dapat
dikatakan, bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang
berbeda, yaitu dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman
rezim Soekarno ke ekonomi terbuka yang berorientasi kapitalis pada masa
pemerintahan Soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat
kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih
baik dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama.
Pengalaman
ini menunjukkan, bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih
dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yakni
sebagai berikut.
a. Kemauan
politik yang kuat
Presiden
Soeharto memiliki kemauan politik yang kuat untuk membangun ekonomi Indonesia.
Pada masa Orde Lama, mungkin karena Indonesia baru saja merdeka, emosi
nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat
tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama kepada kelompok negara-negara Barat
adalah “kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan
proyek-proyek mercusuar.
b. Stabilitas
politik dan ekonomi
Pemerintahan
Orde Baru berhasil dengan baik menekan tingkat inflasi dari sekitar 500% pada
tahun 1966 menjadi hanya sekitr 5% hingga 10% pada awal dekade 1970-an.
Pemerintah Orde Baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok
masyarakat dan meyakinkan mereka, bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah
jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
c. Sumber
Daya Manusia (SDM) yang lebih baik
Dengan
SDM yang semakin baik pemerintahan Orde Baru memiliki kemampuan untuk menyusun
program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait, serta
mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
d. Sukses
politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
Pemerintahan
Orde Baru menerapkan sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke
Barat. Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar
negeri, penanaman modal asing, dan transfer
tekhnologi serta ilmu pengetahuan.
e. Kondisi
ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Selain
oil boom, juga kondisi ekonomi dan
politik dunia pada era Orde Baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir
atau lebih lagi setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa
Orde Lama.
Akan
tetapi, kebijakan Orde Baru biaya ekonomi tinggi, dan fundamental ekonomi yang
rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor
perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal
asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia
dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2006b).
2.3
Pemerintahan Transisi
Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997
nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS, mengalami goncangan hebat akibat
para investor asing yang mengambil suatu keputusan "jual". Akibat
ketidak percayaan investor pada ekonomi dan politik negara tersebut.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya
merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, hal itu merupakan awal dari krisis keuangan
di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp
2.500 menjadi Rp 10.550 (data BI tahun 1998) untuk satu dolar AS
(Tambunan, 2006b). Sekitar bulan
September 1997 nilai tukar rupiah yang terus melemah. Untuk mencegah agar
keadaan tidak tambah buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah
konkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 tilyun berupaya
mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara dan krisis dengan kekuatan
sendiri.
Akan tetapi, setelah menyadari bahwa
merosotrya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi,
terlebih karena cadangan dolar AS di BI sudah mulai menipis karena tens
digunakan untuk intervensi dan menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar
rupiah, pada 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan resmi akan
meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah
Thailand, Flipina, dan Korea Selatan.
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga
keuangan internaional mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang
mencapai 40 miliar dolar AS, 23 miliar diantaranya adalah pertahanan lapis
pertama (front-line defence). Paket program pemulihan ekonomi disyaratkan IMF
pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran
pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama diharapkan bahwa dengan disetujuinya
paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil
kembali. Akan tetapi, pada kenyataannya menunjukkan bahwa nilai rupiah terus
melemah sampai pernah mencapai Rp 15.000 per AS. Kepercayaan masyarakat di
dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu
terus merosot, membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan
(Letter of Intent/LoI) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia
dan IMF pada bulan Januan 1998. Nota kesepakatan itu terdiri atas 5 butir
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter),
restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural (Tambunan,
2006b).
Butir-butir dalam
kebijaksanaan fiskal mencakup, selain penegasan tetap menggunakan prinsip
anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga
meliputi usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah, seperti menghilangkan
subsidi bahan bakar minyak (BBM dan listrik), dan membatalkan sejumlah proyek
infrastruktur besar, dan peningkatan pendapatan pemerintah. Usaha-usaha
terakhir ini akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menaikan cukai
terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas kemudahan pajak, di
antaranya penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN), dan fasilitas pajak serta
tarif bea masuk yang selama ini diberikan antara lain kepada industri mobil
nasional (Timor), mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit
PPN, dan memperbanyak obyek Pajak. Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand,
dua negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah
Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya itu dengan
IME. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua negara senilai 3 miliar dolar
AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal,
Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF,
terutama karena dua hal (Tambunan,
1998).
a.
Berbeda dengan kondisi
krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia krisis ekonomi di
Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan Masyarakat dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di
negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima Letter of Credit
(L/C) dari bank-bank nasional, dan investor-investor dunia, tidak lagi percaya
akan dan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya. Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa
menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia
adalah melakukan "kemitraan usaha'' sepenuhnya antara pemerintah Indonesia
dengan IMF.
b. Indonesia
sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998, kebutuhan itu rata-rata sebesar 22,4 miliar
dolar AS atau rata-rata 1,9 miliar dolar AS per bulan. Sementara, posisi
cadangan devisa bersih yang di BI hingga 1998 hanya 14.621,4 juta dolar AS,
naik dari 13.179,7 juta dolar AS pada akhir Maret 1998. Kebutuhan itu digunakan
terutama untuk membayar pinjaman-pinjaman jangka pendek yang berasal dari luar
(ULN), yang diperkirakan pada pertengahan tahun 1998 sebesar 20 miliar dolar
AS, membayar bunga atas pinjaman jangka panjang 0,9 miliar dolar AS, dan
sisanya sebanyak 1,5 miliar dolar AS untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri
yang juga sangat diperlukan untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi. Setelah
gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi
perundingan-perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan
Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998.
Hasil-hasil
perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen
bernama "Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan".
Memorandum tambahan ini sekaligus juga merupakan kelanjutan, pelengkap, dan
modifikasi dari 50 butir LoI pada bulan januari 1997 yang tetap mencakup
kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal dan moneter perbankan (sektor keuangan) dan
struktural. Ada beberapa perubahan, di antaranya penundaan penghapusan subsidi
BBM dan listrik, serta penambahan sejumlah butir baru. Secara keseluruhan, ada
lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini, yakni sebagai
berikut. (Tambunan, 2006b), yaitu:
Program Stabilisasi, Restruktursasi perbankan, Reformasi struktural,
Penyelesaian ULN swasta (corporate debt), dan Bantuan untuk rakyat kecil
(kelompok ekonomi lemah).
Krisis rupiah yang
menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis
politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka
tahun 1945. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara
terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998,
yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15
Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang dapat dikatakan paling besar dan
juga paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa
tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.
Menjelang minggu-minggu
terakhir bulan Mei 1998, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk pertama kalinya
dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/siswi dari
puluhan perguruan tinggi dan Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan
gerakan mahasiswa tersebut, di satu pihak, dan dari kisis politik di pihak
lain, adalah pada tanggal 21 Mei 1998, yaitu Presiden Soeharto mengundurkan
diri dan diganti oleh wakinya BJ Habibie. Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habib
membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi.
Pada awalnya
pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pcmerintahan refformasi. Akan
tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya
pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan Pemerintahan sebelumnya, mereka juga
orang-orang rezim Orde Baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata.
Bahkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin menjadi-jad kerusuhan
muncul di mana-mana, dan masalah Saeharto tidak terselesaikan. Akhirnya
masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan
reformasi (Tambunan, 2006b).
2.4
Pemerintahan Reformasi
Hingga Kabinet SBY
Pada
awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum
dan kalangan pengusaha dan investor dalam dan luar negeri menaruh harapan besar
terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur
untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua
permasalahan yang ada di dalam negeri warisan Orde Baru seperti praktik KKN,
supremasi hukum, Hak asasi manusia (HAM), penembakan Tragedi Trisakti dan
Semanggi I dan II, peranan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di
dalam poitik, Masalah disintegrasi, dan lainnya.
Dalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian
Indonesia mulai menunjukkan perbaikan. Laju pertumbuhan produk domestic
bruto (PDB) mulai positif walaupun tidak jauh dari 0%, pada tahun 2000
pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan
hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, Laju inflasi dan tingkat suku bunga
yang diwakili oleh Sertifikat Bank Indonesia (SBI) juga rendah, mencerminkan
bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah kembali stabil.
Lama
kelamaan Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang
kontroversial yang membingungkan pelau-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung
bersikap diktator dan praktik KKN semakin intensif. Sikap Gus Dur tersebut juga
menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya
Memorandum II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai
presiden Republik Indonesia jika usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi
dilaksanakan pada bulan Agustus 2011.
Selama
pemerintahan Gus Dur, berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan
sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku dan
pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh sangat
gencar sebagai protes terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga
pertikaian elit politik semakin besar. Ketidakstabilan politik dan sosial yang
tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrachman Wahid menaikan tingkat country
risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami
perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial lembaga rating seperti Standar and Poors menurunkan prospek
jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Selain
itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurrachman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah-masalah amandemen UU No. 23 Tahin
1999 mengenai BI, penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan daerah
untuk pinjam uang dari luar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda
pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan
bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian Indonesia
saat itu sangat bergantung pada IMF. Selain itu Indonesia terancam dinyatakan
bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor), perekonomian Indonesia
semakin memburuk dan defisit keuangan yang terus membengkak, tidak mampu
membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002
mendatang. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman
baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet (Tambunan, 2006b).
Pemerintahan
Gus Dur cenderung menyederhanakan krisis dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah
desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi
Bank Central Asia (BCA) dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah
yang kontroversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil
mewah untuk kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi 15 negara (KTT G-15) yang hanya
5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah,
menunjukkan tidak adanya “sense of crisis” terhadap riil perekonomian
negara saat itu[17].
Indikator
kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat
umum terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar Rupiah
terhadap dolar AS. Pada wal tahun 2000 kurs rupiah sekitar 7000.
Pada
April 2001 sempat menyentuh Rp 12.000 per dolar AS, inilah rekor kurs rupiah
terendah sejak pemerintahan Gus Dur, mengalami dampak negatif terhadap roda
perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa
Indonesia ke krisis yang kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial dan
politik akan jauh lebih besar. Dampak negatif ini terutama karena dua hal,
yaitu : Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada
impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku
maupun barang-barang konsumsi. Kedua, ULN indonesia dalam nilai dolar
AS, baik dari setor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-Indikator
lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit, dan
cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miiar
dolar AS menjadi 28,875 dollar AS.
Setelah
Presiden Wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang ke-5.
Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih
buruk dari pada pemerintahan Gus Dur. Salah satunya APBN dan Suku bunga untuk
SBI, pada awal pemerintahan Megawati mencapai di atas 17%, padahal saat awal
pemerintahan Gus Dur hanya 13%, bersamaan dengan itu tingkat suku bunga
deposito perbankan juga ikut naik menjadi sekitar 18%, sehingga menimbulkan
kembali kekhawatiran masyarakat dan pelaku bisnis, bahwa bank-bank akan kembali
melakukan bleeding.
Inflasi
yang dihadapi “Kabinet Gotong Royong” pimpinan Megawati juga sangat
berat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahunan pada awal
pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati
(periode Januari-Juli 2001) tingkat inflasi mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi
tahunan atau year on year selama Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai
13,5%. Data ini melebihi target inflasi yaitu 9,4%.
Namun
demikian, dalam era Megawati kinerja perekonomian Indonesia menunjukkan
perbaikan paling tidak dilihat dari PDB. Seperti yang ditunjukkan di Tabel,
Pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan tahun sebelumnya 3,8%
dan kemajuan ini berlangsung hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%.
PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar
dolar AS tahun 2004. Demikian juga pendapatan per kapita meningkat dengan
presentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS selama periode
Megawati. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002
dibandingkan -9,3 tahun 2001. Dan terus naik hingga 12% tahun 2004. Namun
demikian, neraca perdagangan (NP) mengalami penurunan. Berikut Tabelnya;
Pada
bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha dalam dan
luar negeri maupun negara-negara pendonor serta lembaga-lembaga dunia seperti
IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun
ke depan akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, kabinet SBY dan
lembaga-lembaga dunia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan
berkisar diatas 6%. Dengan asumsi bahwa politik Indonesia akan terus membaik
dan faktor-faktor eksternal yang kondusif(tidak memperhitungkan gejolak harga
minyak di pasar dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama
penggerak perekonomian dunia seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Cina akan
meningkat. Pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh
peristiwa yang tak terduga yaitu naiknya harga BBM di pasar Internasional dan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi
pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut.
Kenaikan
harga BBM di pasar Internasional (dari 45 dolar AS per barrel awal tahun
2005 menjadi 70 dollar AS per barel). Pada awal Agustus 2005 sangat
tidak menguntungkan Indonesia. Walaupun Indonesia termasuk anggota organisasi
OPEC(produsen minyak), Indonesia juga mengimpor BBM dalam jumlah yang semakin
besar dalam beberapa tahun belakangan.Akibatnya Indonesia bukan saja menjadi net
oil imported, tetapi juga menjadi negara pengimpor BBM terbesar di Asia,
jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak.
Tahun
2015 impor BBM Indonesia diprediksi mencapai 70% dari kebutuhan BBM dalam
negeri (Kurtubi, 2005 dalam Tambunan, 2013). Menurut Kurtubi (2005), pada
september 2005, kekurangan kapasitas kilang Indonesia sekitar 400.000 barrel
per day.
Kenaikan
harga minyak ini menimbulkan tekanan berat terhadap keuangan pemerintah (APBN).
Akibatnya, pemerintah terpaksa megeluarkan status kebijakan yang sangat tidak
populis, yaitu mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam
negeri meningkat tajam. Kenaikan BBM yang besar untuk industri terjadi sejak 1
juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2.200 per liter menjadi Rp 4.750
per liter (naik 115%). Pada 1 Oktober 2005, pemerintah menaikkan lagi harga BBM
dengan kisaran 50% - 80%. Hal ini memberikan dampak negatif terhadap ekonomi
domestik jangka pendek[18].
Secara
teori, dampak negatif dari kenaikan BBM terhadap kegiatan atau pertumbuhan
ekonomi, kesempatan kerja dan kemiskinan di ilustrasikan dam suatu sistem
keterkaitan sepeti pada gambar. Kenaikan harga BBM di pasar dunia jelas akan
membuat defisit APBN tambah besar, ketergantungan Indonesia akan impor BBM
sangat besar.
(ilustrasi): Efek dari kenaikan harga BBM
terhadap Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia
Defisit APBN yang
meningkat selanjutnya akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi
pengeuarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain,
kenaikan harga BBM akan mengurangi kegiatan produksi (Q) di dalam negeri akibat
biaya produksi (BP) meningkat, yang selanjutnya berdampak negatif terhadap
ekspor (X) yang berarti pengurangan cadangan devisa (CD).
Menurunnya kegiatan
ekonomi/produksi menyebabkan berkurangnya pendapatan usaha yang selanjutnya
akan memperbesar defisit APBN karena pendapatan pajak berkurang. Harga BBM yang
tinggi juga akan mendorong inflasi dalam negeri. Semua ini berpengaruhi negatif
terhadap kesempatan kerja atau akan meningkatkan pengangguran (U) dan
kemiskinan (P). Kenaikan pengangguran dan kemiskinan juga menambah defisit APBN
karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, sementara di
sisi lain, pengeluaran pemerintah terpaksa ditambah untuk membantu orang
miskin. Juga peningkatan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan-pertumbuhan
ekonomi lewat efek permintaan, yaitu permintaan di dalam negeri berkurang
(Tambuhan, 2006b).
Kenaikan
harga minyak ini menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS yang sudah berlangsung sejak Januari 2005 dengan
volatilitas yang semakin tinggi, walaupun sempat ada perbaikan menjelang akhir
April hingga sekitar pertengahan Mei 2005. Pada bulan Juli 2005, nilai tukar rupiah
sudah mendekati Rp 10.000 per dolar AS. Hingga akhir tahun 2005 rupiah
diperkirakan tetap berada di atas Rp 9.500/dolar AS. Secara fundamental, terus
melemahnya nilai tukar rupiah terkait dengan memburuknya kinerja BoP Indonesia,
disamping adanya faktor sentimen penguatan dolar AS secara global. Pengaruh
dari faktor-faktor non-ekonomi juga berperarn terhadap melemahnya rupiah,
terutama rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di dalam
negeri yang membuat mereka menukarkan rupiah dengan dolar AS, terutama mengenai
perkiraan dampak negatif dari kenaikan harga minyak terhadap perekonomian
nasional. Selain itu, sejak krisis ekonomi 1997-1998, faktor spekulasi membuat
gejolak rupiah semakin membesar. Kondisi ini menyebabkan permintaan dolar di
pasar domestik meningkat. Sementara itu, pasokan dolar AS ke dalam negeri juga
masih terbatas karena kecilnya ekspor neto.
Pengaruh
dari melemahnya rupiah kali ini bisa sangat kecil terhadap peningkatan ekspor
Indonesia. Sementara itu, Indonesia sudah sangat tergantung pada impor
barang-barang kebutuhan pokok, mulai dari barang konsumsi hingga barang-barang
modal dan peralatan produksi serta bahan baku seperti minyak, yang membuat
impor Indonesia juga kurang elastis terhadap pergerakan rupiah[19].
Kombinasi
antara kenaikan harga BBM dan melemahnya nilai tukar rupiah akan berdampak pada
peningkatan laju inflasi. Menurut data perkiraan dari BI (Agustus 2005),
Inflasi dari indeks harga konsumen (IHK) cenderung berada pada tingkat yang
cukup tingg yaitu 7,42%. Sementara itu, menurut Citigrooup, pada tahun 2005
inflasi di Indonesia berada pada tingkat 6,2% dan merupakan tertinggi diantara
negara se-Asia. Secara fundamental, tingginya inflasi di Indonesia disebabkan
oleh masih tingginya ekspektasi inflasi terkait dengan terkait dengan kebijakan
pemerintah mengenai administered prices dan perkembangan dan
perkembangan nilai rupiah yang cenderung makin melemah. Seperti pada masa
pemerintahan-pemeritahan sebelumnya, Pemerintahan SBY juga berusaha menahan
tingkat inflasi serendah mungkin atau paling tidak tetap dalam satu digit.
Gambar berikut
menunjukkan perkembangan tingkat inflasi(baik dalam presentase tahunan (YoY)
maupun dalam presentase bulanan (MoM), yaitu pergerakan rata-rata 3 bulanan
(3MMA) selama periode januari 2000 hingga januari 2005.
Menjelang akhir
masa jabatan SBY pertama yang akan berakhir pada tahun 2009, perekonomian
Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yaitu harga BBM yang terus naik
dari kenaikan harga pangan di pasar global. Kenaikan harga BBM yang terus
menerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah menaikkan lagi harga BBM, terutama
premium, di dalam negeri pada tahun 2008. Kedua goncangan eksternal tersebut
sangat mengancam kestabilan perekonomian Indonesia, khususnya tingkat inflasi.
Secara komulatif inflasi pada periode Januari-Februari 2008 sudah mencapai
2,44% yang merupakan angka tertinggi sejak 2003. Dengan inflasi year on year
yang mencapi 7,4% maka ancaman inflasi yang lebih tinggi selama tahunn 2008
bukanlah suatu hal yang mustahil.
Selain
itu pada periode 2008-2009 terjadi krisis ekonomi global yang berawal dari
krisis keuangan AS dan merembet ke sejumlah negara negara maju lainnya deperti
Jepang dan negara-negara di zona Eropa, yang pada akhirnya mengakibatkan suatu
resesi(kelesuan ekonomi) ekonomi dunia. Krisis global ini yang membuat
permintaan dunia merosot juga berdampak pada perekonomian Indonesia terutama
melalui penurunan ekspor sejumlah komoditi penting. Untungnya, dampaknya
terhadap perekonomian nasional tidak separah krisis keuangan Asia pada tahun
1997-1998 yang sempat membuat perekonomian nasional negatif hingga sekitar 13%.
Sedangkan krisis 008-2009 tersebut hanya membuat laju pertumbuhan ekonomi
nasional lebih rendah dari yang diharapkan namun tetap positif. Banyak faktor
yang membuat perekonomian Indonesia lebih baik dalam menghadapi krisis
2008-2009 tersebut dibandingkan pada tahun 1997-1998, diantaranya adalah
kondisi perbankan nasional yang jauh lebih baik dari pada masa Orde Baru dan
keberhasilan pemerintah dalam merespon krisis tersebut denga tetap menjaga
kestabilan niai tukar rupiah dan menambah pengeluaran pemerintah yang dikenal
dengan sebutan stimulus fiskal.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sejarah perekonomian Indonesia mengalami
pasang surut pada masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Transisi, Reformasi,
hingga Kabinet SBY. Selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian
Indonesia sangat buruk. Laju pertumbuhan ekonomi menurun terus sejak tahun
1958. Buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama (terutama)
disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun non-fisik,
selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak
politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah) ditambah
lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat buruk selama rezim tersebut.
Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian
pemerintah lebih ditunjukkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat
pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerinthan Orde Baru menjalin
kembali hubungan dengan pihak Barat, dan menjauhi pengaruh ideologi komunis.
Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB, dan lembaga-lembaga dunia lainnya
seperti Bank Dunia dan IMF.
Pada masa transisi, akibat krisis keuangan
di Asia, rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp
2.500 menjadi Rp 2.650 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia
mulai tidak stabil. Sekitar bulan September 1997 nilai tukar rupiah yang terus
melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Pada akhir bulan Oktober 1997,
lembaga keuangan internaional mengumumkan paket bantuan keuangannya pada
Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia pada masa Reformasi mulai menunjukkan perbaikan. Namun
tak berlangsung lama, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan
Abdurrachman Wahid dengan IMF menjadi tidak baik dan membuat perekonomian
Indonesia menjadi buruk. Setelah Presiden Wahid turun, Megawati menjadi
presiden Indonesia yang ke-5. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi
perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk dari pada pemerintahan Gus Dur.
Namun demikian, dalam era Megawati kinerja perekonomian Indonesia menunjukkan
perbaikan paling tidak dilihat dari PDB.
Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY,
rakyat Indonesia, pelaku usaha dalam dan luar negeri maupun negara-negara
pendonor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat
optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik
dari sebelumnya. Kenaikan harga minyak menimbukan tekanan berat terhadap
keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya, pemerintah terpaksa megeluarkan status
kebijakan yang sangat tidak populis, yaitu mengurangi subsidi BBM, yang membuat
harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikan harga minyak ini
menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS yang sudah berlangsung sejak Januari 2005. Menjelang akhir masa jabatan SBY
pertama yang akan berakhir pada tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi
dua goncangan eksternal, yaitu harga BBM yang terus naik dari kenaikan harga
pangan di pasar global.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Tambunan, Tulus T.H. 2013. Perekonmian
Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan,Tulus T.H. 2006b. Perekonomian
Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis. Jakarta: PT Pustaka Quantum
Sumber lain:
Imawan, Riswandha. 2005. “kebijakan yang
keterlaluan”, kompas, opini, Kamis, 29 september 2007.
Munawir, SE. “Modul Perkuliahan Perekonomian Indonesia”.
Docx. Diakses Kamis, 11 September 2014.
[1] Tambunan,
Tulus T.H. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris.
Jakarta: Ghalia Indonesia.hlm: 17.
[2] Munawir,
SE. “Modul Perkuliahan Perekonomian
Indonesia”. Docx. Diakses Kamis, 11
September 2014.hlm 3.
[3] Republik Indonesia mendapat pengakuan
kemerdekaannya (pengakuan kedaulatan) pada tanggal 27 Desember 1949 dari
pemerintah Belanda sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (Den Haag) pada tanggal
23 Agustus 1949.
[4] Pengertian stagflasi adalah stagnasi produksi
atau kegiatan produksi terhenti dengan tingkat inflasi yang tinggi.
[5] Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia,
kegiatan produksi yang mendukung kekuatan perang Jepang di Asia Tenggara sangat
tinggi hingga terjadi eksploitasi khususnya di sektor pertambangan (khususnya
minyak bumi) dan sektor pertanian (terutama karet dan kayu). Sedangkan produksi
barang-barang untuk kebutuhan konsumsi non-militer di dalam negeri terhenti
karena semua bahan baku dan faktor produksi seperti kapital dan tenaga kerja
yang ada dikerahkan ke industri-industri untuk keperluan militer Jepang
(Tambunan 2006b).
[6] Lihat juga Glassburner (1971).
[7] Program Benteng (PB) adalah bagian dari RUP
yang diterapkan pertama kalipada masa Kabinet Natsir. BP adalah implementasi
dari kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif rasial (seperti yang juga
dilakukan di Malaysia) sebagai suatu upaya untuk menahan atau mengurangi
dominasi ekonomi oleh pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa. Melalui BP ini,
pemerintah berusaha untuk membentuk suatu kelas menengah nasional yang kuat dengan
memberi berbagaifasilitas kemudahan termasuk membatasi alokasi impor hanya
kepada pengusaha-pengusaha nasional (Tambunan, 2006b).
[8] Berbeda dengan periode sebelumnya, pada zaman
demokrasi terpimpin kekuasaan militer dan almarhum Presiden Soekarno sangat
besar, sedangkan pada periode demokrasi liberal kekuasaan ada ditangan sejumlah
partai politik, dan di antaranya yang paling besar adalah Partai Masjumidan
Partai Nasional Indonesia (PNI) (Tambun 2006b).
[9] Pembahasan lebih luas mengenai struktur ekonomi dualisme di NB
termasuk Indonesia pada tahun-tahun pertama setelah merdeka dapat juga dilihat
di Higgins (1956) dan Paauw (1963).
[10] Lihat antara lain Mackie (1971) dan Higgins (1968).
[11] Lihat pembahasannya di dalam Thomas dan Panglaykim (1969), dan Arndt
(1969, 1971).
[12] Walaupun sejak Rencana Pembangunan Lima tahun (Repelita) I hingga
berakhirnya zaman Orde Baru menunjukkan bahwa efek cucuran kebawah berjalan
sangat lambat dan tidak merata.
[13] Tambunan,
Tulus T.H. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris.
Jakarta: Ghalia Indonesia.HLM 22.
[14] Ibid fotenote no 19.
[15] Ibid fotenote no 20.
[16] Tambunan, Tulus T.H. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian
Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.
hlm 22.
[17] Tambunan,
Tulus. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris.
Jakarta: Ghalia Indonesia.hlm 29-31.
[18] Riswandha Imawan. 2005. “ kebijakan yang keterlaluan”, kompas, opini,
Kamis, 29 september 2007.
[19] Peningkatan ekspor dari
suatu negara tergantung dari dua faktor utama: peningkatan daya saing(efek daya
saing) dan peningkatan permintaan pasar dunia (efek permintaan)(dengan daya
saing konstan)yang didukung oleh peningkatanpendapatan dan jumlah penduduk
dunia. Namun, pengalaman selama krisi 1997-1998 menunjukkan bahwa efek daya
saing dari depresiasi rupiah sangat kecil, sedangkan efek permintaan dari
melemahnya rupiah saat ini sangat tergantung pada prospek pertumbuhan ekonomi
dunia.
1 komentar:
LuckyClub Casino Site
Lucky Club is a website and software provider. You can play slots, table games, scratch cards and live dealer games. Lucky Club. No reviews yet. No luckyclub.live deposit required.
Posting Komentar