Senin, 16 Maret 2015

Jejak Langkah Perekonomian Indonesia



KATA PENGANTAR
            Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena tuntunan, rahmat, dan karunia-Nyalah kita dapat melanjutkan kehidupan kita terutama kita tetap dapat menjalani aktivitas kita sehari-hari sebagai seorang mahasiswa, dan oleh karena perkenalannya pula penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam, sebagai bentuk tugas mata kuliah  Perekonomian Indonesia yang dibawakan oleh Dr. Suhenda Wiranata,ME
Dalam menyusun makalah ini, penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik sesuai kemampuan penulis. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama dalam menyusun makalah selanjutnya yang dapat digunakan sebagai referensi.
Akhir kata pengantar ini penulis mengucapakan terimakasih kepada Dr. Suhenda Wiranata, yang telah membimbing kami dalam proses belajar-mengajar, dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, dan jika ada kritik dan saran yang bersifat membangun penulis akan menerimanya sebagai bahan acuan mengoreksi diri dan kedepannya dapat menyajikan yang lebih baik lagi dari makalah ini.
                                                                                                  
                                                                                                   Penulis

                                                                                                     Kelompok 2


DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ................................................................................................    i
Daftar Isi  ...............................................................................................................    ii
BAB I  PENDAHULUAN...........................................................................................   1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................    1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................    1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................    2
BAB II  PEMBAHASAN ............................................................................................    3
2.1 Pemerintahan Orde Lama ................................................................................    3
2.2 Pemerintahan Orde Baru  ................................................................................    5
2.3 Pemerintahan Transisi ......................................................................................    9
2.4 Pemerintahan Reformasi Hingga Kabinet SBY ..............................................   13
BAB III PENUTUP ...................................................................................................     19
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................    19  
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................     21
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam praktiknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa emberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu berbagai macam cara dilakukan pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan itu untuk tetap menjaga kelangsungan perekonomian Indonesia salah satunya dengan mencoba memperbaharui sistem perekonomian agar mampu mewujudkan tujuan bernegara sesuai alinea keempat Pembukaan UUD 1945[1].
Sejarah menguraikan rangkaian-rangkaian peristiwa dari waktu ke waktu, sehingga tergambar dengan jelas perubahan-perubahan yang terjadi dalam satu kurun waktu. Perubahan-perubahan tersebut menjadi pedoman bagi generasi mendatang untuk belajar dari sejarah. Apakah setelah sekian tahun dilakukan pembangunan ekonomi, keadaan ekonomi sekarang lebih maju atau lebih mundur. Hal ini perlu kita nilai berdasarkan tolok ukur atau kriteria kemajuan ekonomi[2].
Dalam makalah ini diuraikan tentang keadaan perekonomian pada era Orde Lama, Orde Baru, masa Transisi dan era Reformasi baik penjelasan mengenai kelebihan dan kelemahan sistem yang digunakan, gejolak dan kontroversi dari masyarakat hingga krisis ekonomi tahun  nasional 1997-1998 dan Internasional yang sangat berpengaruh pada Indonesia saat itu.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah perbandingan perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde baru, apakah kelebihan dan kelemahannya?
2.      Bagaimanakah sejarah perekonomian Indonesia pada masa Transisi?
3.      Bagaimanakah sejarah perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan setelah Reformasi hingga Kabinet SBY periode 2004-2009?

1.1  Tujuan Penulisan
1.      Memahami perbandingan perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde baru serta kelebihan dan kelemahannya.
2.      Mengetahui sejarah perekonomian Indonesia pada masa Transisi.
3.      Mengetahui sejarah perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan setelah Reformasi hingga Kabinet SBY periode 2004-2009.






















BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian tidak berarti dalam praktiknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Hingga menjelang akhir 1990-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yaitu pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi Kemerdekaan Indonesia,[3] selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti di Sumatera dan Sulawesi, untuk membiayai dua peperangan, yaitu merebut Irian Barat dan pertikaian dengan Malaysia dan Inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk membiayai penumpasan sejumlah pemberontakan di beberapa daerah di dalam negeri (Tambunan, 2006b).
 Akibatnya, selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama dekade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.[4]
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, dari tahun ke tahun defisit saldo neraca pembayaran (BoP) dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus membesar.
Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun non-fisik seperti pendanaan dari bank. Rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat, mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama,  Hal ini didasarkan data yang dihimpun oleh Arndt (1994).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama (terutama) disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun non-fisik, selama pendudukan Jepang,[5] Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah) ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat buruk selama rezim tersebut (Tambunan 2006b).[6] Keadaan ini mempersulit untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional, yang pada saat itu masih gulden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa Kabinet Natsir (kabinet pertama dalam NKRI), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya merumuskan rencana prmbangunan  ekonomi 5 tahun (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan singkatan Repelita). Pada masa Kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain: nasionalisasi De Javansche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia saat itu di antaranya: untuk pertama kali memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam keuangan pemerintah (APBN), memperketat impor, melakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui modernisasi dan pengurangan jumlah personil, dan penghematan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ali I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi, walaupun kurang berhasil, yaitu pembatasan impor dan kebijakan uang kertas selama Kabinet Burhanudin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijakan uang kertas untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng,[7] mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak). Persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan sistem ekonomi kolonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia (Tambunan 2006b).
Dilihat dari aspek politiknya, selama periode Orde Lama indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokrasi, yaitu pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin.[8] Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan, bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi konflik antarpartai politik.
Seperti yang telah diuraikan di atas, pada masa politik demokrasi itu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap kabinet hanya 1 tahun saja. Waktu yang sangat pendek ini disertai keributan internal di dalam kabinet tidak memberi kesempatan dan waktu yang tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi untuk menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya (Feith, 1964).
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih merupakan peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersil, yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau PDB yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya, kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relatif lebih padat kapital, dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan pengusha-pengusaha asing yang berlokasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Boeke (1954) menyebutkan istilah struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas sebagai dual societis, yaitu slaah satu karakteristik utama dari negara-negara berkembang (NB) yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini dapat terjadi, karna biasanya pada masa penjajahan, pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peraturan-peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang non-pribumi/non-lokal (Tambunan 2006b).[9]
Keadaan ekonomi Indonesia setelah nasionalisasi lebih buruk dibandingkan semasa penjajahan Belanda. Ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an.[10] Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, serta tingkat efisiensi yang tinggi di sektor pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil (Alien dan Donnithorne, 1957).
Buruknya perekonomian Indonesia juga dikarenakan keterbatasan akan faktor-faktor produksi, seperti kewirausahaan dan manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins (1957 a,b), sejak kabinet pertama dibentuk bertujuan utntuk stabilisasi da pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unifikasi, dan rekonstruksi tapi  tidak pernah terlaksana dengan baik.
Buruknya kondisi perekonomian bisa di baca di buku karya Radius Prawiro berjudul “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi”, yang dibahas oleh Gero (2010). Buku ini berisi tentang pengalaman pribadi Bapak Radius sewaktu menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia (waktu itu disebut Bank Sentral) untuk periode 1966-1973. Di dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%, rupiah tersebut dicetak, sementara produksi berbagai produk terus merosot. Radius menulis, seperti yang bisa dikutip dari Gero (2010:21), kebijakan “berdikari” alias berdiri di atas kaki sendiri yang dikampanyekan Presiden Soekarno membuat semua impor produk pangan dan barang distop. Impor beras dilarang pada Agustus 1964, membuat kondisi persediaan pangan nasional yang sudah sulit semakin pelik. Cadngan devisa dan emas terus menipis dari 408,9 juta dolar AS (1960-1965) menjadi minus 4,5 juta dolar AS… Pendapatan per kapita dari 107 juta rakyat Indonesia, saat itu hanya 60 dolar AS. Kurs rupiah merosot dari Rp 186,67 per dolar AS (tahun 1961) menjadi Rp 14.083 per dolar AS (tahun 1965). Defisit anggaran di atas 140 persen (halaman 21).
Pada akhir September 1965 ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri, yang selanjutnya juga merubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-undang 1945 pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi Pancasila. Akan tetapi, dalam praktik sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini pola perekonomian nasional cenderung memiliki sistem kapitalis seperti di Amerika Serikat (AS) atau negara-negara industri maju lainnya, yang karena pelaksanannya tidak baik mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa saat ini semakin besar, terutama setelah krisis ekonomi (Tambunan 2006b).

2.2         Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya sejak bulan Maret 1966, Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditunjukkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerinthan Orde Baru menjalin kembali hubungan dengan pihak Barat, dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB, dan lembaga-lembaga dunia lainnya seperti Bank Dunia dan IMF (Tambunan 2006b).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita di mulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi sosial dan politik serta rehabilitas ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor, yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara Barat. Jelang akhir tahun 1960-an, atas kerjasama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia (Tambunan 2006b).
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru, adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menaggulangi masalah-masalah ekonomi seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.[11] Dengan kepercayaan yang penuh, bahwa akan ada efek “cucuran ke bawah”,[12] pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di pulau Jawa, karena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relatif lebih baik dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu, dirasa sangat sulit untuk memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan (Tambunan 2006b).
Sebelum pembangunan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yakni tinggal landas mengikuti pemikiran Rostow dalam “tahapan dari pertumbuhannya”, selain stabilisasi, rehabilisasi dan pembangunan yang menyeluruh pada tahap dasar, tujuan utama daripada pelaksanaan Repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Hal ini dianggap sangat penting, mengingat penduduk Indonesia sangat besar dengan pertumbuhan rata-rata per tahun pada saat itu sekitar 2,5% dan stabilitas politik juga sangat tergantung pada kemampuan pemerintah menyediakan makanan pokok bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah melakukan program penghijauan (revolusi hijau) di sektor pertanian. Dengan dimulainya program penghijauan tersebut, sektor pertanian nasional memasuki era modernisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam (Tambunan 2006b).
Pada bulan April 1969, Repelita I dimulai dan dampaknya juga dari Repelita-Repelita berikutnya selama Orde Baru terhadap perekonomian Indonesia yang cukup mengagumkan, terutama di lihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama Orde Lama, dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok NB.[13] Pada awal Repelita I PDB Indonesia tercatat 2,7 triliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8 triliun rupiah pada harga konstan, dan pada tahun 1990 menjadi 188,5 triliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan. Selama periode 1969-1990 laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata per tahun di atas 7%.[14]
Keberhasilan pembangunan ekonomi ekonomi di Indonesia pada zaman Soeharto, tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto jauh lebih baik/solid dibanding pada masa Orde Lama dalam menyusun rencana, strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi,[15] tetapi juga berkat tiga hal: penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada periode oil boom pertama pada tahun 1973-1974,[16] pinjaman luar negeri, dan PMA yang (khususnya) sejak dekade 1980-an perannya di dalam pembangunan ekonomi Indonesia meningkat tajam. Dapat dikatakan, bahwa kebijakan Soeharto yang mengutamakan kebijakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, yang didsarkan pada sistem ekonomi liberal dan stabilitas politik yang pro-Barat, telah membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek pembangunan ekonomi Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan terhadap banyak NB lainnya (Tambunan 2006b).
Sebenarnya, pemerintah sadar betul akan maslaah ini. Bahkan, paradigma pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru telah diwadahi dengan baik dalam konsep politik “Trilogi Pembangunan” (tiga prasyarat yang terkait erat secara saling memperkuat dan saling mendukung), yaitu stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan pembangunan.
Sebagai suatu rangkuman, sejak masa Orde lama hingga berakhirnya masa Orde Baru dapat dikatakan, bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yaitu dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman rezim Soekarno ke ekonomi terbuka yang berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan Soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Lama.
Pengalaman ini menunjukkan, bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yakni sebagai berikut.
a.       Kemauan politik yang kuat
Presiden Soeharto memiliki kemauan politik yang kuat untuk membangun ekonomi Indonesia. Pada masa Orde Lama, mungkin karena Indonesia baru saja merdeka, emosi nasionalisme baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat masih sangat tinggi, dan yang ingin ditonjolkan pertama kepada kelompok negara-negara Barat adalah “kebesaran bangsa” dalam bentuk kekuatan militer dan pembangunan proyek-proyek mercusuar.
b.      Stabilitas politik dan ekonomi
Pemerintahan Orde Baru berhasil dengan baik menekan tingkat inflasi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekitr 5% hingga 10% pada awal dekade 1970-an. Pemerintah Orde Baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat dan meyakinkan mereka, bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
c.       Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik
Dengan SDM yang semakin baik pemerintahan Orde Baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait, serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
d.      Sukses politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
Pemerintahan Orde Baru menerapkan sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu, khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, dan transfer tekhnologi serta ilmu pengetahuan.
e.       Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Selain oil boom, juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada era Orde Baru, khususnya setelah perang Vietnam berakhir atau lebih lagi setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa Orde Lama.
Akan tetapi, kebijakan Orde Baru biaya ekonomi tinggi, dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2006b).


2.3         Pemerintahan Transisi
Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997 nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS, mengalami goncangan hebat akibat para investor asing yang mengambil suatu keputusan "jual". Akibat ketidak percayaan investor pada ekonomi dan politik negara tersebut.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya,  hal itu merupakan awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 10.550 (data BI tahun 1998) untuk satu dolar AS (Tambunan,  2006b). Sekitar bulan September 1997 nilai tukar rupiah yang terus melemah. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 tilyun berupaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara dan krisis dengan kekuatan sendiri.
Akan tetapi, setelah menyadari bahwa merosotrya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi, terlebih karena cadangan dolar AS di BI sudah mulai menipis karena tens digunakan untuk intervensi dan menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah, pada 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Flipina, dan Korea Selatan. 
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internaional mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS, 23 miliar diantaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence). Paket program pemulihan ekonomi disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali. Akan tetapi, pada kenyataannya menunjukkan bahwa nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai Rp 15.000 per AS. Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot, membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan (Letter of Intent/LoI) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januan 1998. Nota kesepakatan itu terdiri atas 5 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural (Tambunan, 2006b). 
Butir-butir dalam kebijaksanaan fiskal mencakup, selain penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga meliputi usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah, seperti menghilangkan subsidi bahan bakar minyak (BBM dan listrik), dan membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan peningkatan pendapatan pemerintah. Usaha-usaha terakhir ini akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menaikan cukai terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas kemudahan pajak, di antaranya penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN), dan fasilitas pajak serta tarif bea masuk yang selama ini diberikan antara lain kepada industri mobil nasional (Timor), mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek Pajak. Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya itu dengan IME. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua negara senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal (Tambunan,  1998).
a.       Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima Letter of Credit (L/C) dari bank-bank nasional, dan investor-investor dunia, tidak lagi percaya akan dan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya.  Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah melakukan "kemitraan usaha'' sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
b.      Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998,  kebutuhan itu rata-rata sebesar 22,4 miliar dolar AS atau rata-rata 1,9 miliar dolar AS per bulan. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang di BI hingga 1998 hanya 14.621,4 juta dolar AS, naik dari 13.179,7 juta dolar AS pada akhir Maret 1998. Kebutuhan itu digunakan terutama untuk membayar pinjaman-pinjaman jangka pendek yang berasal dari luar (ULN), yang diperkirakan pada pertengahan tahun 1998 sebesar 20 miliar dolar AS, membayar bunga atas pinjaman jangka panjang 0,9 miliar dolar AS, dan sisanya sebanyak 1,5 miliar dolar AS untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri yang juga sangat diperlukan untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi. Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998.
Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama "Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan". Memorandum tambahan ini sekaligus juga merupakan kelanjutan, pelengkap, dan modifikasi dari 50 butir LoI pada bulan januari 1997 yang tetap mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal dan moneter perbankan (sektor keuangan) dan struktural. Ada beberapa perubahan, di antaranya penundaan penghapusan subsidi BBM dan listrik, serta penambahan sejumlah butir baru. Secara keseluruhan, ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini, yakni sebagai berikut. (Tambunan,  2006b), yaitu: Program Stabilisasi, Restruktursasi perbankan, Reformasi struktural, Penyelesaian ULN swasta (corporate debt), dan Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah).
Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang dapat dikatakan paling besar dan juga paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.
Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/siswi dari puluhan perguruan tinggi dan Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, di satu pihak, dan dari kisis politik di pihak lain, adalah pada tanggal 21 Mei 1998, yaitu Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakinya BJ Habibie. Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habib membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi.
Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pcmerintahan refformasi. Akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan Pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim Orde Baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin menjadi-jad kerusuhan muncul di mana-mana, dan masalah Saeharto tidak terselesaikan. Akhirnya masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi (Tambunan, 2006b).

2.4         Pemerintahan Reformasi Hingga Kabinet SBY
            Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor dalam dan luar negeri menaruh harapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur  untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan Orde Baru seperti praktik KKN, supremasi hukum, Hak asasi manusia (HAM), penembakan Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di dalam poitik, Masalah disintegrasi, dan lainnya.
            Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan perbaikan. Laju pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) mulai positif walaupun tidak jauh dari 0%, pada tahun 2000 pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, Laju inflasi dan tingkat suku bunga yang diwakili oleh Sertifikat Bank Indonesia (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah kembali stabil.
            Lama kelamaan Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelau-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN semakin intensif. Sikap Gus Dur tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya Memorandum II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia jika usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2011.
            Selama pemerintahan Gus Dur, berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh sangat gencar sebagai protes terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elit politik semakin besar. Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrachman Wahid menaikan tingkat country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial lembaga rating  seperti Standar and Poors menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
            Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurrachman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah-masalah amandemen UU No. 23 Tahin 1999 mengenai BI, penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian Indonesia saat itu sangat bergantung pada IMF. Selain itu Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor), perekonomian Indonesia semakin memburuk dan defisit keuangan yang terus membengkak, tidak mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet (Tambunan, 2006b).
            Pemerintahan Gus Dur cenderung menyederhanakan krisis dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi Bank Central Asia (BCA) dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi 15 negara (KTT G-15) yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya “sense of crisis” terhadap riil perekonomian negara saat itu[17].
            Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat umum terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS. Pada wal tahun 2000 kurs rupiah sekitar 7000.
            Pada April 2001 sempat menyentuh Rp 12.000 per dolar AS, inilah rekor kurs rupiah terendah sejak pemerintahan Gus Dur, mengalami dampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis yang kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial dan politik akan jauh lebih besar. Dampak negatif ini terutama karena dua hal, yaitu : Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku maupun barang-barang konsumsi. Kedua, ULN indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari setor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-Indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit, dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miiar dolar AS menjadi 28,875 dollar AS.
            Setelah Presiden Wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang ke-5. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk dari pada pemerintahan Gus Dur. Salah satunya APBN dan Suku bunga untuk SBI, pada awal pemerintahan Megawati mencapai di atas 17%, padahal saat awal pemerintahan Gus Dur hanya 13%, bersamaan dengan itu tingkat suku bunga deposito perbankan juga ikut naik menjadi sekitar 18%, sehingga menimbulkan kembali kekhawatiran masyarakat dan pelaku bisnis, bahwa bank-bank akan kembali melakukan bleeding.
            Inflasi yang dihadapi “Kabinet Gotong Royong” pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati (periode Januari-Juli 2001) tingkat inflasi mencapai 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan atau year on year selama Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai 13,5%. Data ini melebihi target inflasi yaitu 9,4%.
            Namun demikian, dalam era Megawati kinerja perekonomian Indonesia menunjukkan perbaikan paling tidak dilihat dari PDB. Seperti yang ditunjukkan di Tabel, Pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan tahun sebelumnya 3,8% dan kemajuan ini berlangsung hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS tahun 2004. Demikian juga pendapatan per kapita meningkat dengan presentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS selama periode Megawati. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibandingkan -9,3 tahun 2001. Dan terus naik hingga 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP) mengalami penurunan. Berikut Tabelnya;
            Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha dalam dan luar negeri maupun negara-negara pendonor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar diatas 6%. Dengan asumsi bahwa politik Indonesia akan terus membaik dan faktor-faktor eksternal yang kondusif(tidak memperhitungkan gejolak harga minyak di pasar dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama penggerak perekonomian dunia seperti AS, Jepang, Uni Eropa, dan Cina akan meningkat. Pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh peristiwa yang tak terduga yaitu naiknya harga BBM di pasar Internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut.
            Kenaikan harga BBM di pasar Internasional (dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dollar AS per barel). Pada awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Indonesia. Walaupun Indonesia termasuk anggota organisasi OPEC(produsen minyak), Indonesia juga mengimpor BBM dalam jumlah yang semakin besar dalam beberapa tahun belakangan.Akibatnya Indonesia bukan saja menjadi net oil imported, tetapi juga menjadi negara pengimpor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak.
            Tahun 2015 impor BBM Indonesia diprediksi mencapai 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri (Kurtubi, 2005 dalam Tambunan, 2013). Menurut Kurtubi (2005), pada september 2005, kekurangan kapasitas kilang Indonesia sekitar 400.000 barrel per day.
            Kenaikan harga minyak ini menimbulkan tekanan berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya, pemerintah terpaksa megeluarkan status kebijakan yang sangat tidak populis, yaitu mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikan BBM yang besar untuk industri terjadi sejak 1 juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2.200 per liter menjadi Rp 4.750 per liter (naik 115%). Pada 1 Oktober 2005, pemerintah menaikkan lagi harga BBM dengan kisaran 50% - 80%. Hal ini memberikan dampak negatif terhadap ekonomi domestik jangka pendek[18].
            Secara teori, dampak negatif dari kenaikan BBM terhadap kegiatan atau pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan kemiskinan di ilustrasikan dam suatu sistem keterkaitan sepeti pada gambar. Kenaikan harga BBM di pasar dunia jelas akan membuat defisit APBN tambah besar, ketergantungan Indonesia akan impor BBM sangat besar.
 (ilustrasi): Efek dari kenaikan harga BBM terhadap Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia
Defisit APBN yang meningkat selanjutnya akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi pengeuarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain, kenaikan harga BBM akan mengurangi kegiatan produksi (Q) di dalam negeri akibat biaya produksi (BP) meningkat, yang selanjutnya berdampak negatif terhadap ekspor (X) yang berarti pengurangan cadangan devisa (CD).
Menurunnya kegiatan ekonomi/produksi menyebabkan berkurangnya pendapatan usaha yang selanjutnya akan memperbesar defisit APBN karena pendapatan pajak berkurang. Harga BBM yang tinggi juga akan mendorong inflasi dalam negeri. Semua ini berpengaruhi negatif terhadap kesempatan kerja atau akan meningkatkan pengangguran (U) dan kemiskinan (P). Kenaikan pengangguran dan kemiskinan juga menambah defisit APBN karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, sementara di sisi lain, pengeluaran pemerintah terpaksa ditambah untuk membantu orang miskin. Juga peningkatan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan, yaitu permintaan di dalam negeri berkurang (Tambuhan, 2006b).
            Kenaikan harga minyak ini menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah berlangsung sejak Januari 2005 dengan volatilitas yang semakin tinggi, walaupun sempat ada perbaikan menjelang akhir April hingga sekitar pertengahan Mei 2005. Pada bulan Juli 2005, nilai tukar rupiah sudah mendekati Rp 10.000 per dolar AS. Hingga akhir tahun 2005 rupiah diperkirakan tetap berada di atas Rp 9.500/dolar AS. Secara fundamental, terus melemahnya nilai tukar rupiah terkait dengan memburuknya kinerja BoP Indonesia, disamping adanya faktor sentimen penguatan dolar AS secara global. Pengaruh dari faktor-faktor non-ekonomi juga berperarn terhadap melemahnya rupiah, terutama rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri yang membuat mereka menukarkan rupiah dengan dolar AS, terutama mengenai perkiraan dampak negatif dari kenaikan harga minyak terhadap perekonomian nasional. Selain itu, sejak krisis ekonomi 1997-1998, faktor spekulasi membuat gejolak rupiah semakin membesar. Kondisi ini menyebabkan permintaan dolar di pasar domestik meningkat. Sementara itu, pasokan dolar AS ke dalam negeri juga masih terbatas karena kecilnya ekspor neto.
            Pengaruh dari melemahnya rupiah kali ini bisa sangat kecil terhadap peningkatan ekspor Indonesia. Sementara itu, Indonesia sudah sangat tergantung pada impor barang-barang kebutuhan pokok, mulai dari barang konsumsi hingga barang-barang modal dan peralatan produksi serta bahan baku seperti minyak, yang membuat impor Indonesia juga kurang elastis terhadap pergerakan rupiah[19].
            Kombinasi antara kenaikan harga BBM dan melemahnya nilai tukar rupiah akan berdampak pada peningkatan laju inflasi. Menurut data perkiraan dari BI (Agustus 2005), Inflasi dari indeks harga konsumen (IHK) cenderung berada pada tingkat yang cukup tingg yaitu 7,42%. Sementara itu, menurut Citigrooup, pada tahun 2005 inflasi di Indonesia berada pada tingkat 6,2% dan merupakan tertinggi diantara negara se-Asia. Secara fundamental, tingginya inflasi di Indonesia disebabkan oleh masih tingginya ekspektasi inflasi terkait dengan terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai administered prices dan perkembangan dan perkembangan nilai rupiah yang cenderung makin melemah. Seperti pada masa pemerintahan-pemeritahan sebelumnya, Pemerintahan SBY juga berusaha menahan tingkat inflasi serendah mungkin atau paling tidak tetap dalam satu digit.
Gambar berikut menunjukkan perkembangan tingkat inflasi(baik dalam presentase tahunan (YoY) maupun dalam presentase bulanan (MoM), yaitu pergerakan rata-rata 3 bulanan (3MMA) selama periode januari 2000 hingga januari 2005.







Menjelang akhir masa jabatan SBY pertama yang akan berakhir pada tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yaitu harga BBM yang terus naik dari kenaikan harga pangan di pasar global. Kenaikan harga BBM yang terus menerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah menaikkan lagi harga BBM, terutama premium, di dalam negeri pada tahun 2008. Kedua goncangan eksternal tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian Indonesia, khususnya tingkat inflasi. Secara komulatif inflasi pada periode Januari-Februari 2008 sudah mencapai 2,44% yang merupakan angka tertinggi sejak 2003. Dengan inflasi year on year yang mencapi 7,4% maka ancaman inflasi yang lebih tinggi selama tahunn 2008 bukanlah suatu hal yang mustahil.
            Selain itu pada periode 2008-2009 terjadi krisis ekonomi global yang berawal dari krisis keuangan AS dan merembet ke sejumlah negara negara maju lainnya deperti Jepang dan negara-negara di zona Eropa, yang pada akhirnya mengakibatkan suatu resesi(kelesuan ekonomi) ekonomi dunia. Krisis global ini yang membuat permintaan dunia merosot juga berdampak pada perekonomian Indonesia terutama melalui penurunan ekspor sejumlah komoditi penting. Untungnya, dampaknya terhadap perekonomian nasional tidak separah krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998 yang sempat membuat perekonomian nasional negatif hingga sekitar 13%. Sedangkan krisis 008-2009 tersebut hanya membuat laju pertumbuhan ekonomi nasional lebih rendah dari yang diharapkan namun tetap positif. Banyak faktor yang membuat perekonomian Indonesia lebih baik dalam menghadapi krisis 2008-2009 tersebut dibandingkan pada tahun 1997-1998, diantaranya adalah kondisi perbankan nasional yang jauh lebih baik dari pada masa Orde Baru dan keberhasilan pemerintah dalam merespon krisis tersebut denga tetap menjaga kestabilan niai tukar rupiah dan menambah pengeluaran pemerintah yang dikenal dengan sebutan stimulus fiskal.































BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sejarah perekonomian Indonesia mengalami pasang surut pada masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Transisi, Reformasi, hingga Kabinet SBY. Selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk. Laju pertumbuhan ekonomi menurun terus sejak tahun 1958. Buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama (terutama) disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun non-fisik, selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah) ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat buruk selama rezim tersebut.
     Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditunjukkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerinthan Orde Baru menjalin kembali hubungan dengan pihak Barat, dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB, dan lembaga-lembaga dunia lainnya seperti Bank Dunia dan IMF.
Pada masa transisi, akibat krisis keuangan di Asia, rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Sekitar bulan September 1997 nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internaional mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS.
    Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia pada masa Reformasi mulai menunjukkan perbaikan. Namun tak berlangsung lama, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurrachman Wahid dengan IMF menjadi tidak baik dan membuat perekonomian Indonesia menjadi buruk. Setelah Presiden Wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang ke-5. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk dari pada pemerintahan Gus Dur. Namun demikian, dalam era Megawati kinerja perekonomian Indonesia menunjukkan perbaikan paling tidak dilihat dari PDB.
     Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha dalam dan luar negeri maupun negara-negara pendonor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Kenaikan harga minyak menimbukan tekanan berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya, pemerintah terpaksa megeluarkan status kebijakan yang sangat tidak populis, yaitu mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikan harga minyak ini menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah berlangsung sejak Januari 2005. Menjelang akhir masa jabatan SBY pertama yang akan berakhir pada tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yaitu harga BBM yang terus naik dari kenaikan harga pangan di pasar global.






















DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Tambunan, Tulus T.H. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan,Tulus T.H. 2006b. Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis. Jakarta: PT Pustaka Quantum

Sumber lain:
Imawan, Riswandha. 2005. “kebijakan yang keterlaluan”, kompas, opini, Kamis, 29 september 2007.
Munawir, SE. “Modul  Perkuliahan Perekonomian Indonesia”. Docx.  Diakses Kamis, 11 September 2014.


[1] Tambunan, Tulus T.H. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.hlm: 17.
[2] Munawir, SE. “Modul  Perkuliahan Perekonomian Indonesia”. Docx.  Diakses Kamis, 11 September 2014.hlm 3.
[3] Republik Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaannya (pengakuan kedaulatan) pada tanggal 27 Desember 1949 dari pemerintah Belanda sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (Den Haag) pada tanggal 23 Agustus 1949.
[4] Pengertian stagflasi adalah stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti dengan tingkat inflasi yang tinggi.
[5] Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kegiatan produksi yang mendukung kekuatan perang Jepang di Asia Tenggara sangat tinggi hingga terjadi eksploitasi khususnya di sektor pertambangan (khususnya minyak bumi) dan sektor pertanian (terutama karet dan kayu). Sedangkan produksi barang-barang untuk kebutuhan konsumsi non-militer di dalam negeri terhenti karena semua bahan baku dan faktor produksi seperti kapital dan tenaga kerja yang ada dikerahkan ke industri-industri untuk keperluan militer Jepang (Tambunan 2006b).
[6] Lihat juga Glassburner (1971).
[7] Program Benteng (PB) adalah bagian dari RUP yang diterapkan pertama kalipada masa Kabinet Natsir. BP adalah implementasi dari kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif rasial (seperti yang juga dilakukan di Malaysia) sebagai suatu upaya untuk menahan atau mengurangi dominasi ekonomi oleh pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa. Melalui BP ini, pemerintah berusaha untuk membentuk suatu kelas menengah nasional yang kuat dengan memberi berbagaifasilitas kemudahan termasuk membatasi alokasi impor hanya kepada pengusaha-pengusaha nasional (Tambunan, 2006b).
[8] Berbeda dengan periode sebelumnya, pada zaman demokrasi terpimpin kekuasaan militer dan almarhum Presiden Soekarno sangat besar, sedangkan pada periode demokrasi liberal kekuasaan ada ditangan sejumlah partai politik, dan di antaranya yang paling besar adalah Partai Masjumidan Partai Nasional Indonesia (PNI) (Tambun 2006b).
[9] Pembahasan lebih luas mengenai struktur ekonomi dualisme di NB termasuk Indonesia pada tahun-tahun pertama setelah merdeka dapat juga dilihat di Higgins (1956) dan Paauw (1963).
[10] Lihat antara lain Mackie (1971) dan Higgins (1968).
[11] Lihat pembahasannya di dalam Thomas dan Panglaykim (1969), dan Arndt (1969, 1971).
[12] Walaupun sejak Rencana Pembangunan Lima tahun (Repelita) I hingga berakhirnya zaman Orde Baru menunjukkan bahwa efek cucuran kebawah berjalan sangat lambat dan tidak merata.
[13] Tambunan, Tulus T.H. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.HLM 22.
[14] Ibid fotenote no 19.
[15] Ibid fotenote no 20.
[16] Tambunan, Tulus T.H. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.
     hlm 22.
[17] Tambunan, Tulus. 2013. Perekonmian Indonesia, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Jakarta: Ghalia   Indonesia.hlm 29-31.
[18] Riswandha Imawan. 2005. “ kebijakan yang keterlaluan”, kompas, opini, Kamis, 29 september 2007.
[19] Peningkatan ekspor dari suatu negara tergantung dari dua faktor utama: peningkatan daya saing(efek daya saing) dan peningkatan permintaan pasar dunia (efek permintaan)(dengan daya saing konstan)yang didukung oleh peningkatanpendapatan dan jumlah penduduk dunia. Namun, pengalaman selama krisi 1997-1998 menunjukkan bahwa efek daya saing dari depresiasi rupiah sangat kecil, sedangkan efek permintaan dari melemahnya rupiah saat ini sangat tergantung pada prospek pertumbuhan ekonomi dunia.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

LuckyClub Casino Site
Lucky Club is a website and software provider. You can play slots, table games, scratch cards and live dealer games. Lucky Club. No reviews yet. No luckyclub.live deposit required.